Oleh sebab itu, lagi-lagi ketika membaca puisi ini saya memposisikan diri dalam konsep reading as a woman. Landasannya bahwa Orang Tiada dalam konsep saya adalah suara dari kaum perempuan yang sedang 'meneriaki' dominasi kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Kaum laki-laki dalam citraan Dhenok  adalah kepada yang merasa ada.
Pada bait pertama, penyair membuka puisinya dengan mempersoalkan kesia-siaan yang senantiasa dihadapi kaum perempuan. Orang tiada menyapa sesiapa tiada berbalas apa / Orang tiada siapa menyapa selain sepi / Orang tiada dibiarkan lenyap bayang pun tiada / Orang tiada siapa peduli?/Â Â
Dalam bait ini, penyair seolah membahasakan bahwa integritas kaum perempuan yang disuarakan tidak mendapat tempat berlabuh. Ketika perempuan ingin angkat bicara soal posisinya di atas pentas kehidupan malah diabaikan, dianggap tiada, tidak dipedulikan.
Pada bait ke-2, Orang tiada tiada di benak sesiapa / Orang tiada tiada harga bagi sesiapa / Orang tiada biarkan saja tiada / Orang tiada tiada rugi seandainya tiada juga /.Â
Dhenok pada bait ke-2 menampilkan ketakberdayaan kaum perempuan. Ketakberdayaan dimaksud bukanlah situasi pasrah tetapi lebih kepada protes yang ekstrim bahwa perempuan jika tiada, maka yang namanya laki-laki tidak akan pernah ada.
Ingatlah bahwa laki-laki terlahir dari rahim seorang perempuan. Ialah ibuku, ibumu, ibunya, ibu kita. Hal ini melekat pada asonansi yang ditawarkan dengan vokal "a" yang adalah desah merdu dan halus. Demikian perempuan identik dengan 'kehalusan'. Sayangnya, kehalusan tersebut dikasari oleh sosok yang merasa ada.
Bait ke-3, Orang tiada tiada layak ada bersama / Orang tiada tiada layak punya suara / Orang tiada tiada layak ada di jamuan pesta / Orang tiada tiada layak menjadi ada /. Pada bait ini, Dhenok lebih fokus akan ketakberadaan seorang perempuan dalam segala situasi. Simaklah, baris ke-1 menyiratkan posisi perempuan yang terabaikan dari situasi-situasi publik. Hal ini dapat ditemukan pada pilihan kata "bersama" yang digunakan penyair.
Selanjutnya, pada baris ke-2, tiada layak punya suara, baris ke-3: tiada layak ada di jamuan pesta, sesungguhnya merujuk pada sejarah buram posisi perempuan. Sebagai contoh, perempuan dibatasi hak suaranya dalam dunia politik yang hingga kini masih tampak.Â
Kenyataannya bahwa posisi perempuan di parlemen hanya pada kapasitas 30% (mengapa tidak fifty-fifty?). Saya secara mutlak kaitkan interpretasi ini dalam kancah politik, dikarenakan pada baris ke-3 ada pernyataan yang menguatkan asumsi ini. Sebab "jamuan pesta"dalam konotasinya disini mengandaikan pesta demokrasi.
Pengulangan "tiada layak" pada setiap baris membahasakan keterasingan yang intens diberlakukan dalam situasi ketika perempuan itu seharusnya "ada". Perihal "ada" adalah suatu refleksi kepada yang merasa ada. Refleksi tersebut ditampilkan berupa tanda titik-titik (....). Hemat saya, simbol (tanda) titik-titik adalah suatu tanya: sampai kapankah?
Sampai kapankah perempuan bisa "ada" pada puncak keserasian? Sampai kapankah perempuan secara mutlak ada di dalam "ada"? Dan memang, Dhenok ketika mengakhiri puisinya diawali dengan sebuah pertanyaan reflektif.Â