Mohon tunggu...
Herman Aryaka
Herman Aryaka Mohon Tunggu... History Enthusiast

Pembelajar seumur hidup dan pengembara dua alam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Reuni Yang Tertunda (Sebuah Eulogi)

23 September 2025   11:30 Diperbarui: 22 September 2025   14:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepekan aku rasakan laksana sewindu. Kencan dengan Irawan seperti kencan pertama dengan almarhumah istriku. Aku sengaja datang sejam lebih awal. Wajah heran Wahyu saat aku menjemput tidak aku hiraukan. Entah mengapa aku begitu bergairah menantikan gerangan apa yang akan diperlihatkan kawanku Irawan. Setelah kami duduk , sebuah amplop besar berwarna coklat yang tergeletak di atas meja tamu mencuri perhatianku. Seperti membaca pikiranku, Irawan langsung mengajak kami meneruskan pembicaraan tentang Bahtiar. "Bahtiar sudah meninggal 45 tahun yang lalu!" Jantungku mendadak berhenti berdetak! Kemudian berdebar tidak menentu. Separuh tubuhku mati rasa. Namun aku bisa melihat Wahyu terhenyak di tempat duduknya. Dua tahun setelah kembali dari Pulau Buru, Bahtiar ditemukan tidak bernyawa di kamar kontrakan di Jalan Kramat III Jakarta Pusat. Irawan yang pada saat itu berprofesi sebagai wartawan termasuk yang pertama tiba di lokasi.

Hari pertama Bahtiar tiba di Jakarta seusai menjalani masa hukuman, Irawanlah orang pertama yang dicari. Rumah dan tempat usaha milik Bahtiar disegel aparat keamanan. Dia sebatang kara tanpa sanak saudara dan tempat tinggal. Karena merasa iba melihat kondisinya, Irawan mempersilahkan Bahtiar tinggal di rumahnya. Dia bahkan berusaha mencarikan pekerjaan untuk Bahtiar. Dia melupakan semua perseteruan antara dirinya dengan Bahtiar. Namun malang benar nasib eks tahanan politik seperti Bahtiar. Semua teman yang dihubungi Irawan menolak untuk menerimanya bekerja. Bahkan naskah artikel dan cerita pendek yang dikirim Bahtiar ke koran tempat Irawan bekerja pun ditolak. Tidak ada koran yang mau menerima naskah kiriman Bahtiar. Dia bertahan selama setengah tahun tinggal di rumah  Irawan. Meski diterima dengan tangan terbuka di rumah Irawan, lambat laun Bahtiar merasa tidak enak dan berkeinginan untuk pergi. Irawan berusaha menahannya tinggal tapi tetap tidak mampu mencegahnya pergi. Aku melihat genangan air di sudut kedua mata Wahyu.

"Ini yang ingin aku perlihatkan". Irawan mengeluarkan isi amplop. Surat -- surat, kliping koran, foto -- foto lama, dan beberapa naskah yang diketik dengan mesin ketik lama. Semua terlihat usang dimakan usia. Menarik. Irawan menunjukkan selembar foto hitam putih yang sudah memudar. Gambar di dalam foto tersebut sepertinya familiar. Irawan memintaku untuk melihat dengan lebih seksama foto tersebut. Masya Allah! Di foto itu aku sedang berpose bersama dua orang di depan sebuah toko kain entah di mana. Aku diapit oleh dua orang yang tampaknya adalah keturunan Tionghoa. Orang yang di sebelah kiri merangkul bahuku. Pemilik toko kain kah? Lalu Irawan menyodorkan sepucuk surat seraya berkata  "Perhatikan tandatangannya". Tanda tangan di bagian akhir surat itu sangat aku kenal. Tanda tanganku sendiri! Sebuah surat permohonan kerjasama. Sebagai wakil perusahaan milik orang tua, aku yang menandatangani surat tersebut. Surat ditujukan kepada Tuan B. Liem direktur CV. BHS yang beralamat di Tanah Abang. Sebenarnya setelah surat permohonan tersebut mendapat jawaban, terjadi korespondensi yang cukup intensif antara Tuan B. Liem dengan kami. Karena harga yang kompetitif dan barangnya berkualitas CV. BHS akhirnya menjadi satu satunya pemasok kain bahan seragam tentara untuk perusahaan kami. Dan aku yang menandatangani hampir semua surat yang keluar. Dalam hati aku bertanya mengapa Irawan menyimpan surat dan foto itu? Apa hubungannya dengan Bahtiar?

"Subur, apa kamu pernah bertemu dengan Tuan B. Liem secara langsung?". Hanya sekali bertemu yaitu pada saat pengambilan pesanan barang untuk kali yang pertama. Selebihnya kami berkomunikasi melalui surat. Aku merasa seperti sedang diinterogasi oleh Irawan! Serangkaian pertanyaan terlontar dari mulut Irawan. Beberapa diantaranya adalah hal sepele menurutku. Selama "interogasi" berlangsung, aku melihat tatapan mata Irawan yang aneh. Kemudian dia berhenti agak lama sambil mengangguk anggukkan kepala  tanpa bersuara. "Kamu bilang tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan  Bahtiar?". Ya! Jawabku tegas. Dia gelengkan kepalanya. Lalu Irawan mendekat ke arahku dan mengatakan : "Tuan B. Liem adalah Bahtiar". Astaghfirullah! Meski pelan diucapkan tapi terdengar seperti halilintar di telingaku. Dan dunia di sekitarku berputar tidak menentu. Aku terkulai lemas. Kepalaku terasa semakin berat. Bahtiarlah orang yang merangkul bahuku di dalam foto. Tubuhku bergoncang menahan isak. Semua diam. Suasana mendadak senyap. Hanya suara isak tangisku yang mengisi keheningan. Aku bisa mendengar suara degup jantungku sendiri. Kesedihan dan kehampaan menyergapku beberapa saat, lalu kerinduan dan penyesalan silih berganti memenuhi relung hati. Irawan menggeser tempat duduknya. Lalu dengan tangan kanan Irawan merangkul bahuku. Mendadak tangisku pecah. Irawan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bahtiar 60 tahun yang lalu. Berulangkali terdengar Irawan meminta maaf. Aku menggelengkan kepala. Irawan tidak bersalah. Aku lah yang bersalah. Kesibukkanku berbisnis telah memutus tali silaturahmi. Selang kemudian Wahyu menyodorkan cangkir teh dan tisu. Setelah meneguk teh hangat sedikit demi sedikit aku berhasil mengembalikan kekuatanku. Irawan menepuk bahuku sambil berbisik "Aku minta maaf baru sekarang berani menyampaikan ini kepadamu". Irawan tidak ingin keluarga kami mendapatkan masalah karena pernah menjalin kerjasama dengan antek antek PKI. Saat menumpang di rumah Irawan di Jakarta, Bahtiar pernah menanyakan alamat tempat tinggalku. Mungkin karena jarak yang jauh dia mengurungkan niat untuk menemuiku. Meski Irawan menawarkan sejumlah uang untuk perjalanan ke Purwokerto agar bisa menemuiku, tapi Bahtiar menolak dengan keras.  Aku ingat sekarang. Tapi sudah terlambat. Banjir air hangat kembali menggenangi kedua mataku. Mulutku kelu. Hanya isak sedu. Suaraku bergetar. Setelah menarik nafas dalam dalam, sambil mengusap air mata aku  bertanya "Di mana Bahtiar dimakamkan?". (Purwokerto, 11 Januari 2017)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun