Mohon tunggu...
Ninin Herlina
Ninin Herlina Mohon Tunggu... -

Ninin Herlina saat ini adalah mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Konsentrasi Kajian Stratejik Kepemimpinan ....Toward a great Leader!!!, event for my children

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politic is Love & Love is Politic

17 September 2013   09:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:46 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Politics is almost as exciting as war, and quite as dangerous. In war you can only be killed once, but in politics in many times”
Saya tidak ingat persis kutipan kata-kata tersebut berasal dari mana, tapi siratnya cukup menjelaskan bahwa dalam politik kita akan menemukan banyak kesakitan. Kenapa irama politik menjadi tragis ya?, tapi tidak sepenuhnya salah dan juga belum tentu benar adanya. Nah, persis seperti dalam percintaan, pasti kita juga akan menemukan banyak kesakitan.
Politik hari ini realitasnya memakai mainstream Laswell “siapa yang mendapat apa, dimana dan bagaimana”
Tapi sepertinya kita lebih sepakat dengan Aristoteles ‘Politeia’ merupakan simbol kebijaksanaan. Meski selanjutnya paham ini disebut sebagai suatu teori politik klasik, seakan sudah tidak tepat untuk dunia perpolitikan pada abad-abad ke depan namun siratnya cukup memberi warna kemanusiaan yang komprehensif. Simbol kebijaksanaan tentunya menjadi suatu keniscayaan dalam mencapai kesajahteraan yang menyeluruh. Tidak bisa dipungkiri, para ilmuwan dulu benar-benar mengembangkan ilmu pengetahuan dengan ketulusan.  Anugerah akal dan fikiran benar-benar digunakan untuk terus mengeksplorasi tentang kebesaran sang pencipta dengan elaborasi segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di semesta. Tentunya kita sepakat saja dengan Aristoteles, politik itu simbol kebijaksanaan, harusnya tak ada kesakitan kalau kita murni memaknainya demikian, sama halnya dengan cinta, mana mungkin sang pencinta akan merasakan kesakitan seandainya ia murni memaknai cinta sebagai suatu keindahan, tanpa banyak tuntutan karena sang pencinta senantiasa selalu memberi bukan menerima. Namun, realitas hari ini cinta juga kerap ikut terdefinisi secara sadis seperti siratan negatif yang ditujukan dalam pemaknaan politik.
Sebenarnya kita tidak bisa mutlak memberi definisi politik secara ideal layaknya teori-teori yang diberikan para ahli tentang cinta dan politik. Akan tetapi, dalam hal ini perpaduan dua kata tersebut akan terdefinisi dengan konsep realitas, dan mungkin inilah benturan antara realitas dan idealitas. Saya tidak keberatan ketika khalayak menyebut pemaknaan ini konyol bahkan salah kaprah ketika mengatakan ‘Love is politics’. Secara tidak langsung cinta itu benar adalah politik. Kalau akhirnya kita memberi kesimpulan bahwa politik simbol untuk kebijaksanaan, maka jelaslah cinta juga mengajarkan itu. Bukankah setiap orang akan berusaha merekayasa diri sebijaksana mungkin terhadap orang yang dicintainya. Dan lagi, ketika kita mengatakan politik itu ‘siapa mendapat apa, dimana dan bagaimana’, itu juga aturan dalam percintaan saat ini. Lagi-lagi saya sedang berbicara realitas, maka banyak sekali terjadi bahwa orang dengan gampang mengatakan cinta kepada pasangannya dengan berbagai alasan. Tentunya ekspresi dari alasan-alasan tersebut hanya merupakan cara untuk memperoleh yang diinginkan yaitu seseorang yang dipahaminya sebagai orang yang dicintainya.
Kita mengakui cinta kepada alam, hasrat kita tentunya ingin memperoleh nikmat dari keindahan alam, baik menikmati indahnya gunung, indahnya laut, danau, cemara dan sebagainya. Kita mengakui cinta kepada lawan jenis, pastinya kita mengharapkan kasih sayangnya, dukungan semangat, keharmonisan dalam meniti hari-hari dan segala macam keindahan dalam percintaan. Dan kita juga berani mengakui cinta kepada Tuhan, lantas apakah kita tidak mengharapkan apa-apa dari cinta tersebut?, munafik, kalau tidak berani mengakui bahwa pengakuan cinta kita kepada Tuhan dalam realitas hari ini hanya mengharapkan balasan-Nya, it’s ok kita mengatakan mengharapkan ridla-Nya, tapi itu juga merupakan tujuan dari pengakuan cinta kita.
Maka, apa lagi yang membedakan bahwa cinta bukan politik. Cinta adalah politik. Seorang pemerintah membuat segala macam aturan dengan pengakuan atas kesejahteraan rakyat, maka tentunya sang pemerintah berusaha mencintai rakyatnya. Dengan pengakuan cinta kepada anak maka orang tua mengusahakan segala macam cara untuk kebahagiaan sang anak. Maka proses atau aturan yang diciptakan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu kebaikan bersama merupakan realisasi pemaknaan akan politk.  Seperti itulah realitas cinta hari ini dan seperti itulah realitas politik hari ini.
Sebenarnya kita hanya tidak cukup berani untuk mengatakan kalau cinta itu adalah politik, bisa jadi itu pengaruh stigma kita yang masih tidak fair dengan politik. Cinta menjadi sesuatu yang suci dan politik seakan-akan menjadi sesuatu yang kotor. Padahal, cinta bisa juga menjadi sesuatu yang jauh lebih nista dan politik pada dasarnya adalah suatu seni, lantas apa bedanya kalau kita mengatakan bahwa cinta juga merupakan suatu seni.
Dengan demikian, perpaduan dua kata tersebut sesungguhnya memiliki irama yang senada.  Jadi ini bukan pembahasan seperti kebanyakan yang mengatakan cinta itu sesuatu yang berasal dari hati sementara politik itu urusan logika, strategi dan sebagainya, sepertinya masih kurang pantas kalau ada para politikus atau pengamat politik yang memberi makna demikian. Seolah-olah politik yang ingin diagungkan itu bukan sesuatu yang memakai hati, kan ga lucu juga, kalau seseorang itu baru dianggap politikus sejati seandainya dia kekeh dengan logika dan menantang nuraninya. Tentunya kita banyak mendengar statement seperti “kalau orang hatinya lemah atau terlalu bawa-bawa perasaan mending jangan ikut-ikutan berpolitik deh”, sungguh sadis,  apakah kita harus sepakat kalau politik itu harus menjadi sesuatu yang nista, sadis dan melulu negatif?, maka tugas kita sekarang bagaimana seharusnya menjadi politikus yang juga memakai hati, karena nurani pasti tidak akan pernah berdusta.
Selanjutnya, beberapa definisi politik yang sesuai dengan pemaknaan yang saya sebutkan di atas sebagaimana pendapat F. Isjawara, dia memaknai politik sebagai salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan. Jadi kalau kita menjadikan cinta sebagai strategi untuk mendapatkan sesuatu ya berarti tepat definisi politik tersebut dengan statement bahwa cinta adalah politik. Ada juga pandangan Kartini kartono yang mengartikan politik sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat”. Tentunya istilah masyarakat bisa juga dimaknai untuk orang-orang yang saling mencintai, dua orang insan bisa dikategorikan masyarakat secara definisi sempit.
Kalau perpaduan cinta dan politik itu kerap dijumpai dalam kehidupan anak manusia, lantas bagaimana akhirnya khalayak menanggapi bahwa cinta adalah politik dan politik adalah cinta. Ibu Teresa dari Kalkuta adalah sosok yang dikagumi, sosok yang disanjung di berbagai belahan dunia dan kalangan. Ia seorang pribadi ”pencinta cinta”. Sepanjang hidupnya, ia berusaha memenangkan cinta. Bahkan Albert Enstein sekalipun cukup menghargai cinta sebagai proses dirinya bereksplorasi dan menambah inspirasinya menguatkan beragam teori-teorinya. Demikian pula Mahatma Gandhi. Ia seorang pejuang cinta. Dalam perjuangan melawan kekerasan politik, ia pun berusaha memenangkan cinta.
Baik Ibu Teresa maupun Mahatma Gandhi adalah pribadi yang sungguh yakin bahwa daya cinta itu bisa mengatasi segala kepekatan hidup. Mereka pun sungguh yakin bahwa dunia ini sebenarnya adalah milik cinta. Bagaimana seharusnya setiap individu bertugas menebar kebaikan dalam kesehariaannya. Karena itu, mereka terus mengajarkan dan memperagakan dalam hidup mereka bahwa cinta adalah inti terdalam dari hidup manusia.
Namun, realitas mengaburkan pemaknaan politik, sehingga dua istilah tersebut seakan memiliki makna yang sangat berbeda. Politik dan cinta sering kali sulit diakurkan atau disandingkan dalam sebuah pembicaraan. Seolah-olah cinta dan politik itu lahir dari dunia yang berbeda. Oposisi biner sering kali dilekatkan pada keduanya dengan mengatakan bahwa politik itu jahat dan cinta itu suci.
Sebuah oposisi yang sungguh menyesatkan dan menjebak manusia. Sejatinya politik itu lahir dari rahim cinta, rahim yang mau membangun dan menata hidup manusia sehingga segala kejahatan yang membawa derita dijauhkan dari hidup manusia. Buah cinta adalah kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Sehingga sangat tepat kita menyebutkan bahwa cinta itu adalah politik yakni dengan berbagai definisi yang masih sinergis untuk dimaknai, serta dengan tujuan pencapaian yang sama yakni kesejahteraan.
Pertanyaan bisa dilontarkan dalam konteks ini: sejauh mana politik menjangkarkan dirinya pada cinta? Sangat ironis kalau kita mengatakan bahwa kehidupan politik itu dipandu oleh cinta kendati memang seharusnya begitu. Ironisme ini muncul karena kita terlalu sering dihadapkan pada persoalan-persoalan politik yang mengapkir cinta dari dirinya. Bahkan sering kali politik merasa tabu untuk membicarakan cinta. Hal ini bisa dibuktikan lewat berbagai kasus korupsi dan segala kejahatan politik yang merebak seperti di negara kita ini. Sehingga seakan cinta terkalahkan oleh elit-elit politik yang tidak tuntas memaknai esensi dari dunia perpolitikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun