Istilah "Rojali" (Rombongan Jarang Beli) dan "Rohana" (Rombongan Hanya Nanya) belakangan ini kian akrab di telinga warganet, bahkan menjadi viral di berbagai platform media sosial. Kedua akronim ini bukan sekadar candaan belaka, melainkan cerminan sebuah fenomena sosial-ekonomi yang menarik perhatian: keramaian di pusat perbelanjaan yang tidak selalu berbanding lurus dengan transaksi pembelian. Di balik gelitiknya meme dan video singkat, Rojali dan Rohana menyimpan narasi kompleks tentang daya beli masyarakat dan adaptasi gaya hidup di tengah tantangan ekonomi.
Ketika Mal Berubah Fungsi
Fenomena Rojali dan Rohana dapat dengan mudah dijumpai di berbagai pusat perbelanjaan besar, di kota-kota besar. Di akhir pekan, mal-mal dipadati pengunjung. Namun, tak semua dari mereka datang dengan niat berbelanja. Sebagian besar justru asyik membandingkan harga barang dengan lokapasar daring, sementara lainnya sekadar menikmati suasana mal yang sejuk, bersih, dan memanjakan mata dengan etalase produk nan menarik.
Ada pula yang datang untuk berkumpul dengan keluarga atau teman, menghabiskan waktu dengan secangkir kopi dan camilan, tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam. Mal seolah bertransformasi dari sekadar pusat transaksi menjadi ruang publik sekaligus panggung sosial. Generasi Z dan milenial, yang kini mendominasi demografi Indonesia (sekitar 56%), menjadi aktor utama dalam pergeseran ini. Bagi mereka, mal bukan lagi hanya soal belanja, melainkan lebih tentang konteks sosialita, pergaulan, dan hangout bersama.
Sinyal Pelemahan Daya Beli?
Meskipun perilaku Rojali dan Rohana memiliki sisi sosialnya, tak sedikit pihak yang mengaitkannya dengan potensi pelemahan daya beli masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, fenomena ini terasa kian masif. Maraknya pengunjung yang hanya bertanya dan tidak membeli dianggap sebagai indikator bahwa kondisi ekonomi "tidak baik-baik saja."
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perlambatan laju konsumsi rumah tangga. Pada tiga bulan pertama tahun ini, laju konsumsi hanya mencapai 4,87 persen, sedikit di bawah periode yang sama tahun sebelumnya (4,91 persen). Angka ini jauh di bawah laju konsumsi pra-pandemi Covid-19 yang mencapai 5,4 persen. Mengingat konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) nasional (lebih dari 52 persen), penurunan ini tentu berdampak langsung pada perekonomian nasional.
Ironisnya, kelompok kelas menengah atas, yang menopang sekitar 70 persen konsumsi rumah tangga di Indonesia, justru cenderung menahan pengeluaran. Alih-alih berbelanja, mereka memilih untuk mengamankan uangnya di berbagai instrumen investasi dengan imbal hasil tinggi.
Rojali dan Rohana: Strategi Bertahan Kelas Menengah
Fenomena Rojali dan Rohana juga mengungkap makna lain yang patut direnungkan. Ia bisa dimaknai sebagai prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi, yang tidak semata-mata didorong oleh keinginan konsumtif atau gengsi sosial. Ini adalah adaptasi realistis dari kalangan menengah yang berupaya bertahan di tengah tekanan ekonomi. Ketika pengeluaran lebih besar dari pemasukan, gaya hidup hemat menjadi kebutuhan agar tidak tergelincir ke kelompok rentan miskin.
Laporan BPS per April 2025 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta orang, meskipun angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Dengan garis kemiskinan yang ditetapkan berdasarkan pengeluaran minimum Rp 609.160 per kapita per bulan, fenomena Rojali menjadi indikator bahwa kebijakan publik tidak hanya perlu berfokus pada penurunan angka kemiskinan, tetapi juga pada penguatan konsumsi rumah tangga dan stabilitas ekonomi masyarakat kelas menengah.