Berpikir Cepat atau Lambat
Seni kepemimpinan Sekolah
Suatu pagi, seorang kolega guru datang menemuiku. Dengan wajah sedikit lesu, dia bercerita tentang guru lainnya. Bercerita tentang perangai, tabiat buruk dan seabrek hal negative darinya. Saya mendengar dengan seksama. Beberapa kata dan kalimat menghujat dan memancing emosi  darinya saya diamkan sejenak tanpa merespinnya. Dia menginginkan segera ada Tindakan nyata dari apa yang diperbuat sejawatnya. Saya hanya mengangguk dan memberi respon Sahaja tanpa memberi respon dan Tindakan tertentu untuk memuaskan rasa marah dan mangkelnya.
Dihari yang lain, datang seorang wakil kepala sekolah dengan membawa segebok proposal dan rencana kegiatan perbaikan fasilitas sekolah. Beberapa item perbaikan berhubungan langsung dengan aktivitas pembelajaran di sekolah. Perbaikan sarana dan prasarana serta penambahan sarana prasarana untuk mempercantik tampilan sekolah. Beberapa usulan program langsung saya setujui dan segera direalisasasikan hari itu juga. Beberapa diantaranya ditunda hingga pendanaan sekolah memadai.
Sebagai pemimpin sekolah, setiap hari, saya menghadapi berbagai tantangan dan situasi tertentu, dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dari mulai murid terlambat sampai pelayanan pembelajaran yang buruk.  Dalam menghadapinya, kita sering bergerak di antara dua mode berpikir: berpikir cepat (fast thinking) dan berpikir lambat (slow thinking). Dengan kata lain, dalam situasi semacam itu apa yang kita lakukan dan putuskan untuk menyikapi permasalah, tantanan dan kondisi tertentu tersebut. Persoalan yang muncul memungkinkan kita menentukan Langkah yang tepat dengan kedua mode berpikir tersebut. Dimana kemampuan seseorang  dalam memahami kapan harus menggunakan masing-masing mode adalah kunci kepemimpinan yang efektif.
Menurut Daniel Kahneman dalam bukunya yang berjudul Fast and Slow Thinking, Suasana hati yang baik, intuisi, kreativitas, dan sifat mudah percaya memiliki peran besar dalam berpikir dan hasilnya. Artinya, ketika Anda berada dalam suasana hati yang baik, Anda akan lebih mengandalkan intuisi dan lebih kreatif -- tetapi pada saat yang sama, Anda akan kurang waspada dan lebih rentan membuat kesalahan logika.
Lebih jauh, Kahneman mengatakan bahwa , terdapat hubungan antara positive affect (pengaruh positif/perasaan positif) dan kemudahan kognitif -- yaitu kemudahan dengan mana kita mempersepsikan informasi.
Dengan berpikir bahwa segala sesuatu yang membutuhkan lebih banyak usaha tidak layak mendapat perhatian kita, kita terjebak dalam perangkap, kehilangan peluang-peluang baik.
Berpikir Cepat (Fast Thinking): Insting dalam Situasi Mendesak
Berpikir cepat adalah proses otomatis, intuitif, dan hampir tidak memerlukan usaha. Ini seperti lampu cerdas yang menyala saat ada rangsangan di sekitarnya.
Lalu apa manfaat dari berpikir cepat ini?
Model berpikir semacam ini Sangat efektif untuk menangani krisis langsung yang mengancam keselamatan atau mengganggu ketertiban. Misalnya, menangani pertikaian fisik antar siswa, menanggapi kecelakaan kecil, atau memadamkan ketegangan yang bisa memicu konflik besar. Keputusan cepat mencegah eskalasi dan menunjukkan ketegasan.
Sedangkan sisi burukny Adalah Rentan terhadap bias dan kesalahan penilaian. Keputusan yang diambil bisa jadi tidak matang, kurang mempertimbangkan dampak jangka panjang, atau hanya berdasarkan kesan pertama (seperti "like dan dislike"). Mengandalkan ini untuk masalah strategis berisiko tinggi.
Berpikir Lambat (Slow Thinking): Analisis untuk Kebijakan Strategis
Berpikir lambat adalah proses yang deliberatif, analitis, dan memerlukan energi mental yang besar. Ini adalah "mesin utama" untuk perencanaan yang mendalam.
Model berpikir ini sangat Ideal untuk keputusan strategis yang berdampak luas dan jangka panjang. Seperti menyusun Rencana Kerja Sekolah (RKAS), merancang kurikulum, mengevaluasi kinerja guru, atau menangani masalah kompleks seperti perundungan sistematis. Keputusan yang dihasilkan lebih berkualitas, adil, dan terukur karena telah melalui pertimbangan matang dari berbagai sudut pandang.
Namun demikian, model berpikir ini juga kurang efisien.. Dalam situasi mendesak yang memerlukan respons segera, berpikir lambat dapat dilihat sebagai keraguan atau ketidaktegasan yang justru memperburuk keadaan.
Menyikapi Permasalahan Personal: "Like dan Dislike" di Kalangan Guru dan Staf
Permasalahan personal, seperti rasa tidak suka atau ketidakharmonisan antar sejawat, adalah tantangan halus namun nyata. Sebagai kepala sekolah, sikap kita harus bijaksana.
Pertama, jangan terjebak sebagai "hakim" yang langsung memvonis. Ketika seorang bawahan melaporkan sisi negatif sejawatnya, yang dilaporkan seringkali adalah persepsi dan perasaan pribadi, bukan fakta objektif. Tindakan kepala sekolah yang langsung "menghakimi" berdasarkan laporan sepihak justru dapat meracuni iklim sekolah dan memicu konflik yang lebih dalam.
Kedua, bertindaklah sebagai "fasilitator" atau "mediator". Berikut gambaran tindakan yang dapat diambil:
- Dengarkan secara Empatik, tapi Bersikap Netral: Terima laporan tersebut dengan sikap terbuka. Berikan ruang bagi pelapor untuk menyampaikan keluhannya tanpa interupsi. Tunjukkan bahwa Anda mendengarkan, namun jangan langsung menyetujui atau menyangkal. Ucapkan terima kasih atas laporannya dan janjikan untuk memperhatikan situasi tersebut.
- Kumpulkan Data dan Observasi Secara Objektif: Jangan hanya bergantung pada satu sumber. Amati secara langsung interaksi antara kedua belah pihak. Bicaralah secara terpisah dengan pihak yang dilaporkan untuk mendengar versinya. Tanyakan hal-hal yang faktual, bukan berdasarkan perasaan. Tujuannya adalah untuk memahami pola dan akar masalah, bukan mencari kambing hitam.
- Fasilitasi Komunikasi yang Sehat (Jika Diperlukan): Jika masalahnya cukup serius dan mengganggu dinamika tim, pertimbangkan untuk mempertemukan kedua belah pihak dalam suasana yang terkendali dan profesional. Tugas kepala sekolah adalah memastikan percakapan berfokus pada solusi, bukan saling menyalahkan. Tegaskan nilai-nilai kolaborasi dan tujuan bersama untuk kemajuan sekolah.
- Ambil Tindakan Struktural, Bukan Personal: Jika setelah investigasi ditemukan pelanggaran kode etik yang jelas, barulah kepala sekolah mengambil tindakan tegas berdasarkan aturan yang berlaku. Namun, jika masalahnya adalah perbedaan kepribadian, fokuslah pada upaya membangun tim. Misalnya, dengan merancang kegiatan team building atau menyusun job deskripsi yang lebih jelas untuk meminimalkan friksi.
Kepemimpinan pendidikan yang efektif terletak pada kemampuan untuk "mengalir" antara berpikir cepat dan lambat. Gunakan kecepatan untuk krisis, dan gunakan ketelitian untuk strategi. Dalam menghadapi masalah personal, posisikan diri sebagai pemimpin yang membangun jembatan, bukan tembok. Dengan mendengarkan semua pihak secara adil, mengumpulkan data, dan memfokuskan pada solusi yang memulihkan hubungan, kita dapat menciptakan iklim sekolah yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga sehat secara sosial-emosional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI