Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PR Besar Mengentaskan Kemiskinan

18 Mei 2023   23:55 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:57 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PR Besar Mengentaskan Kemiskinan

Oleh: Herini Ridianah, S.Pd

Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang dinilai dari paritas daya beli atau Purchasing Power Parity. Pasalnya, Bank Dunia telah mengubah standar garis kemiskinan baru yang mengacu pada Purchasing Power Parity atau P3 2017. 

Menurut Bank Dunia, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur melalui besaran pendapatan sebesar 3,20 US$/hari atau sekitar 47.500 rupiah/hari. Bukan dengan ukuran yang digunakan pemerintah sejak 2011 yakni 1,9 US$/hari atau setara dengan 28.000 rupiah/hari. 

Bank Dunia memaparkan jumlah penduduk miskin  kelas menengah ke bawah di Indonesia dengan standar PPP 2011 berkisar 54 juta jiwa. Jika menggunakan standar PPP 2017 jumlah tersebut akan meningkat menjadi 67 juta jiwa. Ini artinya jumlah masyarakat miskin di Indonesia berpotensi naik hingga 13 juta jiwa. (www.spn.or.id). Jika demikian, angka kemiskinan akan menjadi tambahan PR besar bagi bangsa ini.

The Center for Economic and Law Studies (Celios) menilai ukuran standar kemiskinan yang digunakan pemerintah tergolong rendah. Direktur Eksekutif Celios, Bima Yudhistira mengatakan ukuran garis kemiskinan yang dilakukan Bank Dunia lebih rasional. 


Respon yang berbeda datang dari Menteri keuangan Sri Muljani, menurutnya ukuran itu tidak bisa serta merta digunakan di tanah air karena salahsatunya masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga berbeda satu sama lain. Sehingga pengeluaran masyarakat untuk hidup berbeda satu sama lain. 

Oleh sebab itu, ia menganggap ukuran yang ditetapkan Bank Dunia itu harus ditelaah lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian domestik. Miris memang, alih-alih menuntaskan PR kesejahteraan, yang terjadi justru bermain angka otak-atik standar kemiskinan.

Jika ditelaah lebih dalam, saat ini kemiskinan yang menimpa umat merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekulerisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai oleh segelintir orang. 

Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik, seperti jalan tol, air, pertambangan, gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka. Akibat lanjutannya terjadi kesenjangan sosial yang cukup tinggi di tanah air. 

Di sisi lain, rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan dalam menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka bukan negara.

Satu hal yang memprihatinkan sesungguhnya saat negara menetapkan standar kemiskinan dengan sangat rendah. Padahal kekayaan sumber daya alam melimpah ruah. Namun karena tata kelola yang salah, akhirnya berbagai aspek bermasalah. Hal itu menunjukkan bahwa negara masih abai terhadap kondisi rakyatnya, bahkan seolah bukti kesejahteraan rakyat bukan hal hal utama yang diperhatikan oleh negara.

Fakta hari ini sungguh bertentangan denga apa yang Islam perintahkan. Islam memberi tugas pada penguasa  untuk mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraannnya orang per orang sehingga dapat hidup layak dan tercukupi semua kebutuhan dasarnya. Islam memiliki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan menjauhkannya dari kemiskinan. Apalagi kemiskinan dapat memicu tindak kriminal yang membahayakan umat.

Pandangan Islam

Sudah saatnya umat kembali pada syariah islam yang berasal dari Allah Swt. Syariah islam telah terbukti mampu menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah islam memiliki mekanisme khas  dalam mengentaskan kemiskinan dalam sebuah negara. 

Dalam islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan. Tapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (mendasar). Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan rakyat secara layak. Baik itu kebutuhan asasi  seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan, hingga kesehatan.

Pertama, secara individual, Allah Swt. memerintahkan setiap muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang  menjadi tanggungannya. Sebagaimana ada di dalam Al Qur'an QS. Al Baqarah ayat 233: "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." Rasulullah saw bersabda: " Mencari rezeki yang halal adalah salahsatu kewajiban di antara kewajiban yang lain."(HR. Ath-Thabrani).

Kedua, secara jama'i , Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah Saw. bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan padahal ia tahu." (HR. At- Thabrani dan al- Bazzar). Jika seseeorang miskin, ia diperintahkan bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai zat pemberi rezeki. Haram baginya berputus asa dari rezeki dan Rahmat Allah Swt.

Ketiga, Allah Swt memerintahkan penguasa bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan asasi mereka. Rasulullah saw. bersabda : " Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Di Madinah, sebagai kepala negara , Rasulullah saw. menyediakan lapanngan pekerjaan bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau, ada ahlus shuffah.  Mereka adalah para sahabat yang tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara. Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar al-Khathab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun "rumah tepung" (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Pada massa kekhilafahan Abbassiyah, dibangun rumah sakit- rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma. Kemampuan negara menyediakan berbagai kemudahan bagi rakyatnya tidak lepas dari penerapan ekonomi islam tentang kepemilikan. 

Regulasi kepemilikan dalam islam menetapkan bahwa harta yang merupakan kepemilikan umum tak boleh dimiliki individu/swasta. Pengelolan kepemilikan umum wajib dikelola negara untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis. Hal ini juga akan membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas bagi rakyat. Demikianlah syariah islam mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.

Sejarah dunia telah membuktikan keampuhan sistem islam dalam menuntaskan PR besar kemiskinan. Sistem islam merupakan satu-satunya sistem hidup       yang telah membawa umat manusia pada kegemilangan peradaban.  

Kesejahteraan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga ketinggian akhlak. Pilihannya kembali pada bangsa ini, apakah mau mengambil islam sebagai solusi yang sudah teruji? Atau tetap percaya dengan sistem kapitalisme yang tak punya bukti dan hanya menjual mimpi solusi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun