Pendekatan hukum dalam permasalahan tambang, yang berdampak terhadap kemanfaatan bagi lingkungan hidup dan keberlangsungan generasi mendatang, menjadi salah satu bahan diskusi yang penting dalam ranah publik. Beberapa isu terkait masalah tambang di Indonesia, khususnya yang ada di Papua, memunculkan polemik setelah beberapa pihak menyorot hal tersebut.
AI menarasikan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, khususnya di pulau-pulau kecil, menjadi sorotan karena dampak lingkungannya yang signifikan. Tekanan publik dan aktivis lingkungan, seperti Greenpeace Indonesia, mendorong pemerintah untuk menghentikan sementara beberapa izin tambang. Raja Ampat, yang dikenal sebagai kawasan biodiversitas laut tinggi dan ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO, menghadapi ancaman kerusakan ekosistem akibat pertambangan.
Konstribusi hukum yang saya maksudkan adalah sebagai upaya atas empowering atau pemberdayaan dan penghargaan atas hak-hak masyarakat adat, karena sangat signifikan bahasan tentang tambang dengan filosofinya.
Filosofi tersebut, mendasarkan pada pemahaman kolektif bangsa ini terhadap keberadaan masyarakat adat sebagai penjaga budaya, pengelola sumber daya alam yang sudah turun termurun dengan sentuhan kearifan lokal. Hanya saja menjadi sebuah ironi, ketika faktanya kemudian, mereka juga berada pada posisi yang ringkih dan rentan berhadapan dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), perampasan daerah atau tanah adat mereka bahkan sampai pada abainya kebijakan atau implementasi kegiatan tambang dengan mengabaikan hak atas tanah serta dampak kesehatan.
Dalam ranah perlindungan konstitusi negeri ini, Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan adanya pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan masyarakat hukum adat dan identitas budaya. Kehadiran negara menjadi penting untuk menjamin  hak-hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam berbagai regulasi.
Untuk itu, sangat perlu adanya bridging sebuah mekanisme yang transparan, akuntabel dengan melibatkan potensi adanya masyarakat adat tadi dalam pentas praktik pertambangan yang bisa menselaraskan tujuan yang tidak saling merugikan. Satu sisi negara memperoleh masukan, pengusaha sebagai pelaksana mendapat keuntungan dan masyarakat tidak terdampak dari aspek negatifnya, justru ikut menikmati keberadaan proses pertambangan tadi.
Mapping atau pemetaan atas permasalahan yang muncul sebagai ekses atas usaha pertambangan secara umum terlihat dari potensi konflik antara masyarakat lokal, Perusahaan dan pemerintah. Acapkali, dan menjadi keluhan masyarakat lokal, mereka seperti dilangkahi, tidak dilibatkan dari awal sebelum lahirnya keputusan negara yang melegalkan usaha pertambangan. Ternyata, korelasinya kemudian adalah menyangkut mata pencaharian yang terancam karena lingkungan terdampak.
Belum lagi, masih adanya syak wasangka, curiga, karena ketidak transparan yang muncul dan dirasa masyarakat atas Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di tempat-tempat yang menurut masyarakat "tidak boleh" dijadikan lahan pertambangan. Mereka memandang adanya usaha pertambangan di pulau-pulau kecil dan kawasan konservasi dari sisi legalitasnya.
Ini sebuah kewajaran, terlebih bila merunut siapa-siapa pihak yang ada di belakang usaha pertambangan tadi.
Sebagai bentuk empowering masyarakat terhadap persoalan tersebut, salah satu instrumen hukum yang bisa ditempuh adalah dengan memasukannya pada gugatan Tata Usaha Negara (TUN).  Dari TUN ini akan menilai apakah tindakan administrative pemerintah sudah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.