Saat libur cuti bersama kemaren, saya sempatkan refreshing ke Dieng. Sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi bagi sebuah destinasi wisata pegunungan. Dieng menawarkan keindahan alami, dari Telaga, View, Candi hingga kawah yang menebar asap belerang.
Ada beberapa alternative rute untuk sampai di Dieng, yang terletak di dua wilayah Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Saya memilih rute exit toll Kajen, kemudian melewati Bojong, Paninggaran, Kalibening dan langsung menuju Titik nol Dieng. Dari exit toll Kajen Kabupaten Pekalongan, bisa ditempuh antara 2 hingga 3 jam perjalanan. Sepanjang rute yang dilalui hampir berupa hamparan tetumbuhan yang hijau khas pegunungan, meskipun ketika sampai di Kaliboja, hamparan pohon hutan berubah menjadi hamparan kebun teh yang memanjakan mata.
Bukan kali pertama saat kemaren saya ke Dieng, untuk ke sekian kalinya. Namun, taka da juga rada bosannya. Ini disebabkan karena perkembangan destinasi Dieng yang selalu berkembang dari hari ke hari, tahun ke tahun. Sentuhan stakeholders sangat kentara. Beberapa fasilitas di Titik destinasi mengalami polesan-polesan yang kian menjadian Dieng semakin indah.
Saya tiba di Titik Nol Dieng menjelang magrib, setelah sempat berfoto di Titik Nol Dieng tersebut, saya pastikan untuk mencari homestay yang sudah banyak terbooking. Saya memaklumi, mungkin ratusan mobil berjajar dengan plat nomor luar kota memenuhi kawasan Titik Nol Dieng. Sekali lagi, banyak perubahan terjadi di kawasan tersebut. Rupanya, banyak wisatawan yang berkunjung, membuat warga local banyak inisiatif dalam menjual jasa maupun produk khas Dieng. Ekonomi jelas menggeliat dengan kondisi seperti itu.
" Namun di hari-hari biasa, pengunjung tidak seramai seperti saat sekarang, ada cuti bersama. " Ucap Bram, yang menawari homestay pada saya. Ia bercerita di hari biasa, untuk home stay dengan 4 kamar, bertarif antara Rp. 1,2 juta sampai 1,5. Namun bila situasi liburan, harga menyesuaikan.
Selepas magrib, saya bersama istri memilih untuk menikmati masakan khas Dieng, yaitu Mie Ongklok, disebuah kedai, yang konon menurut pramusaji, memiliki sekitar 6 titik cabang di kawasan Dieng. Kedai yang tidak begitu luas, namun letaknya strategis, di sebelah selatan sekitar 100 meter dari Titik nol Dieng. Sayangnya makanan pesan saya yaitu mie ongklok hanya tinggal yang original, " yang pakai toping sudah habis dari sore tadi. "
Saya memaklumi, memang hilir mudik wisatawan benar-benar seperti tumpah ruah sore itu. Adanya cuti bersama menjadi berkah bagi warga Dieng. Dalam penantian pesanan, istri saya sempatkan membeli gorengan di kedai sebelah. " Wah, enak ini. "
" Murah lagi, masih satu ribuan gorengannya, baik tempe maupun tahunya. "
Ya, di tempat wisata seperti Dieng, masih adanya makanan dengan harga satu ribuan, tentu hal yang lain dari biasanya. Di tempat wisata lain, bisa lebih dari satu ribuan. Termasuk harga seporsi mie ongklok, hanya dibanderol dengan Rp. 15 ribu rupiah. Tentu, menjadi sebuah daya Tarik tersendiri, menikmati kuliner khas Dieng, yang hangat untuk sedikit melawan hawa dingin namun dengan harga yang ramah di saku.
Untuk home stay-nya sendiri, saya cukup merogoh Rp, 300 ribu, dengan fasilitas air hangat dan sekedar welcome drink berupa kopi atau teh dengan menyedu sendiri. Banyak wisatawan yang memenuhi homestay. Mereka terlihat rombongan ataupun dalam ikatan keluarga. Ini Nampak dari acara yang mereka dibuar di depan lobby homestay, yang menonjolkan suasana keakraban.
Pagi harinya, satu Titik destinasi yang sangat memanjakan mata dan sangat menakjubkan adalah berada di ketinggian tatanan batu alami, ciptaan Yang Maha Indah. Namanya Batu Pandang Ratapan Angin. Untuk masuk ke destinasi ini, tiket parker Rp. 10.000 dan tiket masuk perorang Rp. 15.000. Apa yang ada di depan mata, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan.
Bukit berbatu, dikemas dan disentuh tanpa mengubah komposisi alami, membuat lokasi wisata tersebut menjadi prioritas kunjungan ke Dieng. Saya sendiri seperti kehabisan kata-kata untuk melukiskan keindahan saat berada di salah satu Titik Batu Pandang Ratapan Angin tersebut. Sepanjang mata memandang, bebukitan, Telaga Warna yang airnya kehijauan dan bening Nampak jelas.
Trap-trap yang dibuat untuk menjembatani langkah kaki, menuju satu Titik ke Titik lain di Batu Pandang, adalah sensasi tersendiri. Ada tantangan, untuk menapaki tangga-tangga tersebut. Harus hati-hati agar tidak tergelincir. Beberapa view foto yang indah saya sajikan dalam artikel ini, sebagai bukti bahwa saya teramat susah untuk merangkai kata lebih lanjut tentang keindahan tempat tersebut.
Keindahan yang masih ditebarkan oleh Dieng tersebut, sayangnya perlu perhatian dari para pengelola maupun pemerintah setempat, terkait dengan pengelolaan pedagang maupun kebersihan di areal destinasi. Menjadi lebih indah dan fokus pada view obyek, pedagang tidak ditempatkan di dalam "ring satu", bisa dilokalisir di areal parkir, sehingga saat mata ini menikmati indahnya destinasi, tidak terkontaminasi oleh serakan sampah dan bangunan kedai yang kontra dengan indahnya Batu Pandang Ratapan Angin. Â
Salam Dari Dieng, Semoga Sehat Selalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI