Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memaknai Senioritas

23 Januari 2023   06:43 Diperbarui: 25 Januari 2023   08:06 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen Pribadi

Di lingkungan kerjanya, Kurnia sangat tidak nyaman. Ia sudah tiga tahun bekerja di tempat tersebut. Lulusan S1-, sehingga belum mendapatkan jabatan yang membuatnya dianggap senior. Bukan hal tersebut yang membuat Kurnia tidak nyaman. Lalu apa? Tiada lain adalah salah seorang atasannya, sebut saja Tiara. Tidak hanya kepada Kurnia Tiara langsung to the point menyebut nama, pada pegawai yang dianggapnya menjadi bawahannya.

“Saya senior kalian.“ Begitu dalih Tiara, ketika tidak tahu penyebabnya ia tiba-tiba berkata begitu saat meeting. Entah masukan dari siapa, sampai juga apa yang menjadi keresahan Kurnia dan kolega di telinga Tiara.

Mendengar ucapan tersebut, darah Kurnia seperti mendidih. Karena alasan “senior” maka, ia menisbikan faktor yang bisa menasbihkan seseorang bisa disebut senior?

Itu adalah ilustrasi. Namun bisa menjadi kenyataan dan sering dihadapi di lingkungan pekerjaan tertentu, yang masih menghargai beberapa faktor menyangkut senioritas. Apa saja faktor tersebut? Menurut bahasa dan pengamatan saya ditambah beberapa literatur kepustakaan, saya mencluster dalam beberapa faktor atau aspek yang bertalian dengan masalah senioritas ini.

Pertama, bisa dikarenakan usia. Seseorang yang masih menghormati orang yang lebih tua usianya, tentu sepakat, meski ia menduduki jabatan apapun, bila dihadapkan pada bawahan yang usianya lebih tua, ia akan respek dan memberi hormat. Karena senirotitas juga bisa dilihat dari usia. Semakin tua, semakin senior.

Foto: Dokumen Pribadi
Foto: Dokumen Pribadi

Kedua, dari pendidikan. Bisa jadi seseorang memandang senioritas karena jalur pendidikan. Ia beranggapan seseorang yang sudah bisa menyelesaikan pendidikan lebih tinggi darinya, ia anggap dan perlakukan sebagai senior.

Ketiga dari pangkat, grading atau jabatan. Ketiganya saya rangkum dalam satu cluster, karena seringnya ini menjadi satu kesatuan. Karena pangkat, bisa dianggap senior, begitupun tingkat jabatan dan grading yang berkaitan dengan pengalaman kerja.

Keempat, masa dinas atau masa kerja. Sebangun dengan pengalaman kerja pada point ketiga, bisa juga menjadikan penghormatan layak diberikan kepada kolega yang mempunyai masa kerja lebih banyak. Meskipun ia pada posisi jabatan yang jauh dari atasan.

Kelima, di kompasiana sendiri memberikan level untuk "jam terbang" menulis artikel dari Debutan, Yunior, Taruna, dstnya. Level ini menjadi sebuah apresiasi kepada siapa saja yang bergabung di Kompasiana tanpa melihat back ground sebelumnya. Bisa jadi, seperti saya yang baru 3 bulan bergabung dan kini sudah level Taruna, dari sisi usia, mungkin banyak yang di bawah saya namun level kompasiana sudah jauh di atas saya, sebagai Senior atau Fanatik atau bisa jadi Penjelajah?

Bahkan , dalam konsep relegi Islami, “senioritas” juga diberlakukan pada seseorang yang “lebih mengusai” ilmu keagamaan, ilmu dalam baca Al Quran dsbnya. Sehingga meski usia lebih muda, karena kedalaman ilmu agama, ia layak untuk diberlakukan sebagai “senior” yang diidentikan sebagai “imam” dalam konsep Islam tersebut.

Jadi, wahai para atasan, jangan perlakukan bawahan Anda, hanya menjustifikasi bahwa senoritas di lihat dari satu aspek saja. Banyak tautannya. Namun hakikatnya, siapapun orangnya, lebih baik dan sangat menarik simpati adalah ketika kita bisa memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat, apapun dia dan bagaimanapun statusnya. Tanpa harus membusungkan dada : Ini Aku Senior-mu.

Sebuah pengalaman empiris, ketika di suatu kesempatan dalam sebuah momen, hanya karena memandang "mereka" senior dari satu aspek, mengabaikan aspek lainnya. Yang terjadi adalah, ketidaknyamanan, nir-comfort dalam iklim kerja, karena terjadi sebagaimana kisah dalam prolog artikel ini. Seolah ia lupa, bahwa ia berada di negeri yang masih memandang etika, sopan santun dan tradisi tidak tertulis untuk memberi penghormatan pada orang lain. Tidak asal mengekspresikan panggilan pada orang lain hanya dengan menyebut nama dengan dalih ia adalah "yunior" alias bawahannya. 

Tidak seperti itu bangunan dalam iklim kerja. Satu pihak merasa ketidak nyaman, akan berpengaruh pada bagaimana suasana dalam kerja secara keseluruhan. Yakinlah, itu menjadi sebuah sub sistem dari salah sistem efektif dalam lingkungan pekerjaan.

Salam, semangat di Hari Imlek.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun