Megono dan Koruptor (Imajinasi Kuliner Dalam Narasi Fiksi)
Aku tidak tahu  menu apa yang akan disajikan istri pagi ini. Namun, hidung  tiba-tiba mencium aroma gurih yang menyengat. Aku  beranjak ke dapur dan  lihat tangan istri tengah "marut" kelapa. Di sebelahnya ada cincangan  nangka muda yang sudah terkuliti. Ada bumbu yang sudah tersedia, rupanya belum dilembutkan atau "digerus" dalam cobek.Â
"Heem, mau buat megono ya, Istriku. Kenapa tidak beli saja?"
Aku tahu biasanya bila sedang ingin makan pagi dengan menu megono, pasti beli di tetangga. Megono, menu khas dari kota Batik Pekalongan. Terbuat dari bahan utama nangka muda yang dicacak atau dipotong kecil-kecil. Bumbu yang disediakan, sederhana saja, yaitu kelapa parut, bawang merah bawah putih, kemiri, cabe rawit, cabe merah, ketumbar, daun salam, serai, laos.Â
"Terasinya mau banyakan atau sedikit saja Yah."
Suara istrku seolah tahu bahwa benaku sedang memerinci bumbu untuk membuat megono.Â
"Ya secukupnya, Bunda yang biasa menakarnya. Kebanyakan juga rasa khas megono jadi hilang."
"Gula merah dan garam, tentu jangan lupa ya." Tambahku.
Aku yang spontan menggerus bumbu-bumbu itu. Tidak di mixer, lebih ngerasa bila dilembutkan secara konvensional, yaitu "di uleg" seperti buat rujakan.
Aku sesekali memang suka membaur dengan istri di dapur. Masak ini menyenangkan. Lebih-lebih, pikiran lagi comfort, jauh dari urusan kantor. Urusan kantor, ya ngurusi koruptor yang tidak juga lenyap dari bumi Indonesia ini. Gara-gara koruptor (bahasa hiperbolanya), aku harus meninggalkan keluarga di Pekalongan, untuk ke kantor di Jakarta, tempat kantor anti rasuah berada. Jadi kesempatan nimbrung masak di dapur sama istri, menjadi sebuah hal yang menyenangkan.