Mohon tunggu...
Heri purnomo
Heri purnomo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Ada yang Tidak Bisa untuk Mewujudkan Mimpi

9 Mei 2019   08:12 Diperbarui: 9 Mei 2019   08:23 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai karyawan biasa, saya juga mempunyai keinginan untuk mewujudkan impian-impian yang saya anggap luar biasa. Impian besar itu antara lain membeli rumah, membeli kendaraan, berangkat haji.

Mengingat memori saat kecil saya di desa, ketika ada saudara atau tetangga yang berangkat haji misalnya, tidak ada terbesit atau membayangkan saya akan berada di posisi mereka. Memakai kopyah putih, seragam haji diiringi keluarga untuk berangkat menunaikan rukun islam yang kelima ke tanah suci. Yach...memang melihat keadaan perekonomian orang tua yang jauh disebut orang kaya. 

Jadi hal itu menjadi sesuatu yang mustahil bagi kami. Alih-alih membayangkan berangkat haji, untuk meminta uang beli mainan atau mobil-mobilan yang sekiranya harganya mahal saja saya tidak berani. Bukannya tidak berani, tapi lebih baik menahan diri untuk hal hal seperti itu.

Seiring dengan kedewasaan saya, mulai menjadi karyawan, bisa bekerja mendapatkan upah. Seiring itu pula membuka mata saya silau pada gemerlapnya dunia. Bukan anak muda namanya kalau tidak mempunyai keinginan yang membara. Pengen punya ini, pengen punya itu. Berharap hidup seperti orang lain yang kelihatannya lebih layak dan sempurna. Padahal kita sendiri tidak tahu bagaimana dibalik kehidupan yang kelihatannya enak itu.

Mulai masuk kerja, saya mendapat training membangun impian. Impian itu harus terukur. Terukur jangkawaktunya, terukur pula cara pencapaiannya. Kapan target impian tersebut akan dicapai. Berapa besar dana yang harus disiapkan untuk menciptakan impian itu terwujud. Dan dengan cara apa mimpi itu akan kita kejar.

Pada training itu pun saya masih belum tahu mimpi apa yang akan saya tuliskan. Banyak yang menggambar mobil mewah, rumah mewah, jalan-jalan ke luar negeri. Tapi bukan itu yang saya impikan saat itu. Saya hanya berpikir bagaimana untuk menjadi kaya dan membahagiakan orang yang saya cintai, yaitu orang tua saya. 

Akhirnya saya putuskan menggambar kabah untuk menggambarkan impian saya. Seperti logika saya saat kecil, yang mampu berangkat haji adalah orang-orang kaya. Kalau impian saya berangkat haji bersama orang tua saya, otomatis saat itu saya sudah menjadi orang kaya. Bisa beli rumah, mobil atau jalan-jalan keluar negeri.

Masih ingat betul, saya memotong gambar kabah dan dua tangan menegadah berdoa dari sebuah majalah bekas. Gambar itu saya presentasikan dihadapan teman-teman sekelas dalam training. Impian itu benar-benar membuat tekat di hati dan pikiran saya.

 Saya harus mewujudkan impian itu. Saya harus menabung dan menyisihkan gaji saya guna menciptakan sebuah dream come true. Tiga tahun setelah itu, tabungan sudah terkumpul, dan saya tekatkan mendaftar haji bersama ibu.

Bukan seketika tahun itu pula saya bisa berangkat haji, tapi menunggu antrian dan kuota selama delapan tahun. Sambil menunggu masa keberangkatan, impian-impian lain pun menghantui untuk diraih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun