Saya yang baru berusia 16 atau 17 tahun saat itu sangat bersedih. Apalagi lebih seminggu lamanya aku tidak pergi sekolah karena setiap hari berkeliling ikut pencarian. Semua terasa sia-sia. Usaha merawat kerbau berbulan dan bertahun seolah menemui kehampaan.
Lama setelah peristiwa itu kembali aku berpikir. Memang Nini Bulang atau pun keluarga kami, kehilangan lima ekor kerbau. Tapi benarkan hanya lima ekor?Â
Setelah saya hitung-hitung, bila dirupiahkan jumlahnya akan mencapai 6 atau 7. Kenapa? Bila dihitung semua dengan biaya pengeluaran makan, minum, transportasi sedemikian banyak orang maka jumlahnya pasti tidak sedikit. Setidaknya menghabiskan 1 atau 2 ekor kerbau. Tapi uniknya, semuanya itu ditanggung bersama oleh keluarga besar dan tetangga yang bersimpati dan berempati.
Di usia saya sekarang, saya sampai kepada kesadaran dan rasa syukur bahwa kami tidak hanya punya harta benda materi. Kami juga punya harta yang lebih berharga, yakni rasa setia kawan dan semangat berbagi keluarga besar dan tetangga. Perasaan senasib sepenanggungan dan rela berkorban membuat ada lega di hati, bahwa kami tidak mengalami malang sendirian tapi bersama mereka yang selama ini kami hidup dan tinggal bersama.
Puluhan tahun sudah kejadian itu berlalu. Wajah-wajah mereka yang lelah namun bersemangat melakukan pencarian masih hidup dalam ingatanku. Saat aku belajar dan mendalami teologi, aku semakin mengerti bahwa terkadang malaikat Tuhan datang dalam sosok yang tidak bersayap seperti mereka yang ikut dalam pencarian kerbau-kerbau yang hilang, dan sampai hari ini aku belum bisa memberi imbalan selain: TERIMA KASIH.
Herford, 04.03.2021