Ini adalah diary tentang obrolan pagi yang tanpa rencana, pertemuan sederhana dengan teman-teman sekolah yang lama tak jumpa.Â
Tidak ada janji temu resmi, tidak ada agenda tersusun, hanya langkah-langkah spontan yang membawa kami duduk di satu meja.Â
Di antara bubur panas, tawa yang tak lagi sekencang dulu, dan kopi hitam yang perlahan mendingin, kami menemukan sesuatu yang tak kami sangka: semangat untuk memulai kembali.Â
Di usia yang tak muda, di tengah rasa lelah bekerja puluhan tahun, kami justru membicarakan mimpi---tentang label usaha, pelatihan kerja, dan pabrik kecil di tangerang.
Rasanya, seakan hidup memberi jeda untuk menyusun ulang makna: bahwa kadang, jalan pulang dimulai dari kopi dan teman lama.
Tempat Pulang Bernama Obrolan Lama
Pagi itu tak ada janji formal, tak ada rundown, tak ada agenda bisnis. Hanya pesan singkat semalam, "Besok sarapan di Cisadane yuk?"
Dan entah kenapa, aku dan eko menyempatkan datang.
Mungkin karena kami sama-sama lelah dengan dunia kerja yang mulai terasa berat di punggung.Â
Mungkin karena ada yang hilang dan ingin dicari kembali dari canda teman sekolah.Â
Atau mungkin karena... tanpa sadar, kami sedang mencari tempat pulang.
Bubur ayam jadi pembuka. Sate usus dan ati ampela jadi teman. Tapi justru kopi yang mengunci kami lebih lama.Â
Dari warung kaki lima kami berpindah ke sebuah kafe kecil milik teman lama--- Andi, yang dulu suka menggambar di kelas, sekarang menggambar label kopi di cangkir keramiknya.
Kami duduk lama. Tak ada target. Tapi satu demi satu gagasan muncul dari sela obrolan santai. Tentang rasa bosan bekerja pada orang lain.Â
Tentang keinginan meninggalkan sesuatu. Tentang label kopi sendiri, Lembaga Pelatihan sederhana untuk anak-anak muda yang kami bayangkan bukan sekadar pelatihan, tapi jembatan bagi anak-anak dari keluarga seperti kami dulu,yang ingin naik kelas,bahkan keinginan membangun pabrik kecil di kampung halaman,semua terlontar seperti percikan api kecil di tengah dingin pagi.
Lucunya, kami tak saling menertawakan. Tak ada yang merasa terlalu tua untuk bermimpi.
Kami malah mengangguk, saling mendengarkan, dan diam-diam mulai menghitung hari.
Ada semacam energi yang tak bisa dijelaskan saat berbicara dengan teman lama.Â
Mereka tidak menilai dari pencapaian, tidak membandingkan karier, tidak menyentil kegagalan.Â
Mereka hanya hadir,dan dengan kehadiran itu, kita merasa cukup.
Di usia yang tak muda, kami tidak sedang mengejar kaya. Kami hanya ingin tetap merasa hidup.
Membangun usaha kecil dengan rasa, memberi ruang belajar untuk yang muda, dan merancang sesuatu yang bisa tetap tumbuh bahkan saat kami sudah tak ada.
Dan pagi itu, kopi bukan lagi sekadar minuman.
Ia jadi medium pengikat. Penanda. Pembuka cerita baru.
Terlambat Muda, Tapi Belum Terlambat MulaiÂ
Kini aku tahu, obrolan paling serius kadang dimulai dari pertemuan yang tidak disengaja.
Dan mimpi paling jujur lahir dari hati yang tak lagi sibuk mengejar dunia.
Kami tak tahu akan sejauh apa rencana ini berjalan. Tapi pagi itu kami tahu satu hal: kami tak ingin menunggu usia tua untuk merasa berarti.
Karena kadang, kita hanya butuh kopi, teman lama, dan sedikit keberanian untuk menyebut kembali nama-nama impian yang pernah kita kubur dalam kesibukan.
Dan kali ini, kami ingin menuliskannya kembali---dengan tangan kami sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI