Semua orang punya Tupperware, tapi tak cukup orang yang mau beli baru.Â
Di tengah rumah-rumah yang penuh wadah plastik warna-warni, raksasa dapur ini justru tumbang.
Dapur Tak Pernah Sepi Tupperware, Tapi Toko Resmi Mulai Sepi Pembeli
Ironisnya, Tupperware ada di hampir setiap rumah tangga Indonesia, tapi itu tak cukup untuk menyelamatkannya dari keruntuhan pasar.Â
Wadah-wadah legendaris ini mewarnai dapur sejak era arisan ibu-ibu sampai seminar motivasi ala 2000-an.
 Produk ini bukan hanya tempat menyimpan makanan, tapi simbol gaya hidup bersih dan rapi.Â
Sayangnya, loyalitas emosional tak selalu berbanding lurus dengan daya beli.Â
Orang tetap menyimpan Tupperware lama mereka---kuat, tahan lama, dan masih berfungsi. Masalahnya: karena terlalu awet, tak ada alasan membeli yang baru.
Terlalu Ikonik, Tapi Terlalu Lambat Berinovasi
Tupperware adalah korban dari keunggulannya sendiri. Produk yang terlalu tahan lama justru membatasi perputaran pasar.Â
Sementara kompetitor muncul dengan desain kekinian, harga lebih murah, bahkan bonus digitalisasi, Tupperware tampak tertinggal.
 Dulu penjualan mengandalkan jaringan pemasaran langsung, kini tergilas e-commerce dan impulsive shopping.
Konsumen generasi baru lebih tergoda diskon kilat di marketplace dibanding janji kualitas seumur hidup.Â
Tanpa pembaruan agresif dan adaptasi distribusi, keikutan emosional tak lagi bisa ditukar dengan transaksi nyata.