Jenuh dengan keluhan HRD tentang kandidat tak sesuai atau User yang frustrasi karena karyawan baru "zonk"? Fenomena ini sejatinya cermin dari miskomunikasi dalam proses rekrutmen. Tapi, tahukah kamu ada resep jitu untuk mengakhiri drama ini?Â
Artikel ini akan membongkar bagaimana HRD dan User bisa bersinergi, bukan berseteru, demi menemukan talenta terbaik yang benar-benar cocok dengan kebutuhan tim dan budaya perusahaan.
Fenomena ini sejatinya menyingkap sebuah pertanyaan krusial: siapa yang sebenarnya lebih tahu dan paling mengerti kebutuhan tim saat merekrut karyawan baru, HRD atau User? Ini bukan sekadar debat kusir, melainkan inti dari efektivitas rekrutmen yang berdampak langsung pada kinerja tim dan perusahaan.
Di Balik Layar Rekrutmen: Miskomunikasi yang Klasik
Mari kita intip sedikit ke balik layar proses rekrutmen. Idealnya, HRD dan User adalah dua poros yang saling melengkapi. HRD dengan keahliannya dalam sourcing, screening, wawancara perilaku, dan pemahaman regulasi ketenagakerjaan. Sementara User, dengan pemahaman mendalam tentang job description riil, dinamika tim, serta skill teknis yang benar-benar dibutuhkan di lapangan.
Namun, seringkali terjadi distorsi. HRD, yang notabene adalah "gerbang" pertama, terkadang hanya menerima daftar kriteria dari User tanpa pemahaman konteks yang memadai. Mereka mungkin hanya berpegang pada kata kunci di CV atau hasil tes psikologi. Di sisi lain, User, yang sibuk dengan pekerjaan operasional, bisa jadi hanya memberikan kriteria secara garis besar, tanpa detail spesifik tentang problem-problem yang harus diselesaikan oleh calon karyawan baru. Hasilnya? Kandidat yang lolos mungkin secara administratif memenuhi syarat, tapi secara substansi tidak cocok dengan budaya tim atau skill yang benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan masalah di lapangan.
Saya pribadi pernah mengalami bagaimana seorang User begitu frustrasi karena merasa HRD hanya mengirimkan "robot" yang pandai menjawab pertanyaan wawancara tapi "lemot" saat diajak berdiskusi teknis. Di sisi lain, saya juga mendengar keluhan HRD yang merasa User terlalu banyak maunya, sementara kriteria yang diberikan di awal sangat minimalis. Ini lingkaran setan yang perlu diputus.
Membenahi Rekrutmen: Kunci Kolaborasi yang Setara
Lalu, apa yang mesti dibenahi? Jika harus memilih, siapa yang lebih mengerti kebutuhan tim? Sejujurnya, pertanyaan ini menjebak. Tidak ada yang "lebih" tahu. Keduanya harus tahu.
Kuncinya ada pada kolaborasi yang setara dan komunikasi yang transparan.
Bagaimana membangun komunikasi yang setara antara HRD dan User?
- Â Sesi Penyelarasan Kebutuhan (Needs Alignment Session): Sebelum proses rekrutmen dimulai, HRD dan User wajib duduk bersama dalam sesi deep dive. Jangan hanya menerima job description mentah. HRD harus bertanya detail: Apa problem utama yang ingin dipecahkan oleh posisi ini? Bagaimana dinamika tim saat ini? Skill apa yang paling kritis dan tidak bisa ditawar? Contoh: "Jika tim "Pak Budi" butuh back-end developer, apakah yang dicari itu ahli coding murni atau juga yang bisa troubleshooting jaringan?"
- Keterlibatan User Sejak Awal: User tidak hanya terlibat di tahap wawancara akhir. Libatkan mereka dalam penyusunan iklan lowongan, screening CV awal (khususnya untuk skill teknis yang spesifik), bahkan briefing awal untuk HRD. Ini memastikan pemahaman yang sama dari hulu ke hilir.
- Â Feedback Loop yang Konstan: Setelah wawancara oleh HRD, User harus segera memberikan feedback yang detail dan konstruktif. Begitu juga sebaliknya, HRD bisa memberikan pandangan dari sisi perilaku atau fit dengan budaya perusahaan berdasarkan observasi mereka.
- Pelatihan Bersama:Â Adakan pelatihan bersama untuk HRD dan User tentang teknik wawancara yang efektif, identifikasi red flags, dan cara menilai skill secara objektif. Ini akan menyamakan persepsi dan standar penilaian.
- Data dan Metrik:Â Gunakan data. Berapa lama rata-rata karyawan baru bertahan? Berapa banyak turnover di tim tertentu? Apakah ada korelasi antara penilaian rekrutmen dan performa setelah bekerja? Data ini bisa menjadi cermin bersama untuk perbaikan berkelanjutan.
Berdasarkan pengalaman saya, budaya kolaboratif ini masih jadi PR besar di banyak tempat. Ada yang sudah mulai bergerak, tapi tak sedikit yang masih mengandalkan silo-silo departemen. Ketika HRD hanya menjadi "pelaksana pesanan" dan User hanya menjadi "penilai akhir", di situlah masalah-masalah rekrutmen akan terus bermunculan.
Membangun komunikasi yang setara berarti mengakui bahwa setiap pihak memiliki perspektif dan keahlian yang unik. HRD dan User adalah partner yang saling membutuhkan.
Ketika mereka bisa bekerja sama, bukan hanya rekrutmen yang efektif, tapi juga terbangunnya tim yang solid dan kinerja perusahaan yang optimal. Jadi, bukan siapa yang "lebih" tahu, tapi bagaimana kita bisa saling tahu dan bekerja sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI