TeaserÂ
Tak semua anak nakal ingin terus hidup di jalan gelap. Beberapa hanya butuh ruang untuk didengar, dibimbing, dan diberi harapan baru. Inilah cerita dan motivasi dari balik pagar barak pembinaan.
Orang Tak Lahir Sebagai Penjahat, Dunia yang Membentuknya
"Anak-anak bukan masalah. Mereka adalah pesan yang belum terbaca dengan baik."
Tak ada yang bercita-cita menjadi anak nakal. Namun hidup kadang terlalu keras untuk anak-anak yang tak punya siapa-siapa. Seperti Fikri (16), yang pertama kali merokok saat usia 10, mencuri saat 11, dan kini masuk barak pembinaan . Namun, siapa sangka, di balik cap "nakal" itu, ada luka yang tak pernah sempat sembuh, dan rindu yang tak pernah pulang.
Ia tumbuh di lingkungan keras: ayahnya pemabuk, ibunya meninggal saat ia kecil. Sekolah tak lagi jadi rumah yang aman. "Buat apa sekolah, perutku lapar," katanya. Di jalan, ia merasa dihargai, didengarkan, bahkan dijadikan "adik" oleh preman pasar. Tapi harga diri itu dibayar mahal: penjara remaja, kehilangan masa depan, dan kehilangan kepercayaan dari banyak orang.
Namun semua berubah saat ia mengenal seorang pembina di barak yang tak menghakimi. "Ia hanya mendengar, lalu bilang: kamu masih bisa berubah," kata Fikri. Kalimat sederhana yang membuka pintu harapan. Kini, Fikri belajar membuat roti, ikut kursus sablon, dan bermimpi membuka usaha kecil bersama teman-teman sesama eks-nakal. Dari situ, ia percaya: menjadi baik itu bisa dipelajari, asal ada yang percaya pada kita dulu.
Mengapa Banyak Anak Nakal yang Sebenarnya Korban?
 "Anak nakal bukan cermin keburukan pribadi, tapi seringkali bayangan dari lingkungan yang salah."
Menurut data Bapas dan Kemenkumham, lebih dari 60% anak yang terjerat kasus kriminal ringan di Indonesia berasal dari keluarga bermasalah, berpenghasilan rendah, atau tanpa figur orang tua aktif. Dalam dunia psikologi perkembangan, perilaku menyimpang pada anak dan remaja seringkali merupakan mekanisme bertahan, bukan bentuk pemberontakan.
Sayangnya, sistem hukum dan pendidikan kita masih cenderung menghukum daripada memulihkan. Anak-anak "nakal" cepat dilabeli, tetapi lambat ditangani secara manusiawi. Barak pembinaan, LPKA, hingga sekolah alternatif masih minim dukungan tenaga profesional yang mampu menangani trauma dan luka masa kecil.
Namun ada titik terang. Beberapa kota mulai menerapkan pendekatan restoratif justice, mempertemukan anak pelaku dan korban dalam ruang dialog, bukan ruang vonis. Beberapa LSM juga mulai aktif mengembangkan sekolah informal untuk anak jalanan dan mantan penghuni LPKA, agar mereka tidak kembali ke jalan. Jika negara serius membangun masa depan, maka investasi terbaik bukan penjara, tapi pengasuhan.
"Mereka tak ingin dilabeli anak nakal. Mereka hanya ingin didengarkan sebagai manusia yang juga ingin hidup lebih baik."
Jika Aku Bisa Berubah, Maka Kamu Juga Bisa
 "Mereka yang jatuh paling dalam, kadang punya tekad bangkit yang paling kuat."
Kini, Fikri tak lagi menyimpan dendam pada masa lalu. Ia sadar, semua luka itu tak sepenuhnya salahnya---tapi kini ia memilih memutus rantai itu. "Aku ingin jadi ayah yang lebih baik dari ayahku nanti," katanya sambil mengelus kemeja barunya---hasil kerja di pelatihan menjahit barak.
Cerita seperti Fikri bukan hanya satu. Banyak remaja lain yang kini membuktikan: masa lalu tak harus menentukan masa depan. Mereka bisa jadi mentor, pengusaha kecil, relawan pendidikan. Mereka bisa jadi inspirasi. Asal diberi kesempatan kedua.