Teaser
Dari Nh. Dini di Prancis hingga penulis diaspora muda di Jepang, Eropa, dan Amerika, jarak tak pernah menghapus Indonesia dari ingatan mereka. Rindu, keterasingan, dan pencarian identitas justru menjelma menjadi karya sastra yang menggugah.
Aku Menulis Indonesia dari Kota yang Tak Punya Angin Timur
 "Yang jauh bukan aku. Tapi ingatanku tentang tanah air." --- Nh. Dini
Di sebuah apartemen mungil di Prancis, Nh. Dini menulis dengan setumpuk rindu yang tak bisa ia bungkam. Ia bukan hanya melahirkan novel, tapi juga melahirkan Indonesia baru dalam imajinasinya: Indonesia yang dilihat dari jendela kereta cepat Lyon--Paris. Dalam keterasingan, ia justru mendekap identitas yang selama ini ditinggalkannya.
Hari ini, gema itu berlanjut. Di Kyoto, seorang penulis muda Indonesia menulis cerpen tentang pasar tradisional yang ia impikan saat hujan salju mengguyur pagi-paginya. Di Berlin, ada mahasiswa S2 yang menulis puisi berbahasa Indonesia sebagai terapi rindu. Di New York, seorang ibu rumah tangga membuat blog berisi cerita anak berbahasa ibu yang sudah jarang ia ucapkan.
Tulisan-tulisan ini bukan sekadar nostalgia. Mereka adalah perlawanan terhadap lupa. Sebuah upaya kecil namun teguh untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia, walau tubuh mereka jauh dari tanah yang mereka cintai. Di sanalah sastra diaspora tumbuh---di antara ingatan yang tak pernah benar-benar pergi.
Ketika Jarak Menguji Bahasa dan Identitas Kita
"Bahasa ibuku mulai terdengar asing di lidahku sendiri." --- Penulis Indonesia di Belanda
Fenomena sastra diaspora bukan hanya persoalan rindu, tapi juga identitas. Di negara asing, penulis Indonesia sering dihadapkan pada dua pilihan: menulis dalam bahasa ibu yang semakin jarang mereka dengar, atau berpindah ke bahasa asing demi keterbacaan global. Dilema ini membentuk wajah baru dalam peta sastra Indonesia kontemporer.
Menurut data dari Komite Buku Nasional, sejak 2015 hingga kini, makin banyak karya penulis diaspora diterbitkan, baik secara mandiri maupun melalui penerbit arus utama. Namun, jumlah itu belum mencerminkan ruang yang cukup bagi pengalaman diaspora dalam peta sastra Indonesia.
Padahal, pengalaman diaspora membawa perspektif unik: tentang multikulturalisme, alienasi, hingga interseksi identitas yang kompleks. Ini bukan hanya soal minoritas menulis dari luar negeri. Ini soal bagaimana "Indonesia" didefinisikan ulang lewat mata yang menatap dari kejauhan.
 "Indonesia dalam karya mereka bukan sekadar tempat, tapi ingatan yang diperjuangkan."
Indonesia yang Dibangun dari Kata-Kata yang Jauh
 "Menulis adalah satu-satunya cara pulang yang bisa kulakukan." --- Penulis Indonesia di Tokyo
Di tengah globalisasi dan arus migrasi, menulis menjadi jalan pulang paling sunyi. Para penulis diaspora tak sekadar membuat karya, mereka juga membangun jembatan antara dua dunia: tempat mereka tinggal dan tempat yang mereka rindukan. Di sanalah muncul bentuk baru dari nasionalisme: bukan dengan bendera, tapi dengan kalimat.
Lebih dari sekadar nostalgia, sastra diaspora adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk menulis dengan bahasa yang mulai menjauh, untuk mempertahankan akar di tanah asing, dan untuk menunjukkan bahwa menjadi "Indonesia" bisa punya banyak rupa.