Teaser Kisah Inspiratif Diaspora Yohana Susana Yembise
Yohana Susana Yembise adalah perempuan Papua pertama yang meraih gelar profesor dan doktor dari luar negeri. Ia membuktikan bahwa perempuan dari Timur Indonesia juga mampu tampil sebagai pemimpin di tingkat nasional. Perjalanan hidupnya menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru dari wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.
 "Saya perempuan Papua, dan saya ingin menunjukkan bahwa kami bisa."--- Yohana Susana Yembise
Ketika Yohana Susana Yembise melangkah ke podium sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2014, banyak mata tertuju padanya. Bukan semata karena ia seorang menteri perempuan, tetapi karena ia datang dari Timur Indonesia---dari Papua, sebuah wilayah yang selama ini nyaris tak terdengar di pusat-pusat kekuasaan. Ia memecah sunyi panjang representasi perempuan Papua di panggung nasional.
Lahir di Manokwari pada 1 Oktober 1958, Yohana bukan berasal dari pusat pengaruh atau privilese. Ia datang dari tepi yang kerap disisihkan. Namun, justru dari sanalah ia menapak jalan panjang pendidikan: melintasi batas-batas geografis dan sosial, hingga akhirnya meraih gelar doktor dari University of Toronto, Kanada. Ia pun menjadi perempuan Papua pertama yang menyandang gelar profesor.
Namun Yohana bukan sekadar akademisi. Ia adalah penantang arus. Ia menolak diam saat perempuan Papua dikerdilkan dalam stigma domestik. Ia menolak tunduk pada sistem yang menempatkan Timur sebagai pinggiran. Melalui perannya sebagai profesor linguistik di Universitas Cenderawasih, Yohana menyalakan api perubahan dari ujung timur Nusantara.
Kisahnya bukan hanya tentang prestasi pribadi, tetapi tentang harapan kolektif. Tentang seorang perempuan Papua yang memilih memberdayakan komunitasnya, menyuarakan mereka yang tak terdengar, dan membuktikan bahwa dari pinggiran pun, kepemimpinan bisa tumbuh dengan penuh wibawa.
"Ketimpangan gender itu nyata, apalagi di tanah Papua--- Yohana Susana Yembise"
Ketika berbicara soal pemberdayaan perempuan, banyak kebijakan nasional berhenti di Pulau Jawa. Daerah-daerah seperti Papua kerap luput dari perhatian, padahal tantangan di sana berkali lipat lebih kompleks. Akses pendidikan, layanan kesehatan, bahkan perlindungan hukum terhadap perempuan masih minim.
Yohana Yembise memahami itu tak hanya dari teori, tapi dari pengalaman hidup. Ketika ia menjadi menteri, salah satu program prioritasnya adalah membuka ruang seluas mungkin bagi perempuan Indonesia Timur untuk bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia menggalang beasiswa, pelatihan kepemimpinan, dan membuka pintu dialog antara pemerintah pusat dan komunitas akar rumput.
Namun, meski menjabat dalam satu kabinet, perjuangan Yohana tak selalu mulus. Ia harus menghadapi resistensi budaya, institusi, dan juga politik maskulin yang masih mendominasi ruang-ruang pengambilan kebijakan. Dalam beberapa forum internasional, ia membawa isu perempuan Papua ke ranah global, meyakinkan dunia bahwa Indonesia Timur bukan hanya cerita luka, tetapi juga potensi.
Dalam dunia politik yang kerap menyingkirkan suara perempuan, Yohana hadir sebagai anomali yang patut dirayakan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!