Suara hentakan kaki pasukan gajah terus menggema. Menggema menembus gelapnya malam. Tak lagi terlihat pohon-pohon dan rumput sekitar. Yang ada hanya bayang bintang-bintang di permukaan sungai pantulan cahaya bulan.
Perjalanan menuju wilayah utara diperkirakan tiba sebelum fajar.
***
Di sisi lain, pasukan badak yang di pimpin Bajing, melakukan istirahat sejenak, untuk memulihkan tenaga.Â
Para pasukan merebahkan badan, beberapa dari mereka ada yang berendam (berkubang) di sebuah danau yang tak jauh dari tempat peristirahatan. Aktifitas ini sering dilakukan badak untuk mengembalikan stamina.
Di malam bulan purnama itu, suara Jangkrik dan suara Lajaluka (burung hantu) menghapus bisu di kesunyian malam.
Bajing menyandarkan punggungnya di perut jenderal Badak yang sedang merebahkan badan. Sehingga membuat setengah tubuh Bajing seperti terayun karena hembusan napas jenderal Badak.
Dia terus berpikir dengan keputusan berpisah dari pasukan gajah dan menuju ke wilayah timur.
Sesekali Bajing mengingat fenomena langit merah. Terlihat jelas ketika ia mengawali langkah menuju wilayah timur. Menurut kebudayaan rimba raya, hal seperti itu bertanda tidak baik. Dan bisa diartikan, sebagai tanda peringatan, bahwa alam tak merestui. Hanya saja alam memiliki cara tersendiri untuk mengingatkan.
Semakin malam, keramaian suara Jangkrik kian berkurang. Namun lain hal dengan suara Lajaluka. Suaranya kian terdengar nyaring. Kut... Kut... Kut... Kut...Â
Tiba-tiba Bajing beranjak berdiri, sontak membuat jenderal Badak terbangun. Matanya menatap Bajing dengan penasaran.