Ketika saya masih kecil, saya ingat sekali, ayah saya dulu bekerja di kota Dumai. Beliau pulang ke rumah setiap beberapa bulan sekali. Setiap beliau pulang, saya pasti selalu menangis. Iya, mungkin karena rindu sekali kepada beliau.
Entah, saya tidak tahu pasti, mungkin karena alasan jauh dari keluarganya, maka beliau kemudian pindah bekerja di perusahaan lain di kota Medan. Sehingga beliau bisa selalu ada di rumah dekat dengan keluarga.
Saya ini bisa dikatakan anak ayah, mungkin karena kakak perempuan saya lebih dekat ke ibu kami, maka saya lebih dekat ke ayah.
Dulu, jika kami ingin sesuatu, saudara kandung saya meminta saya yang mengutarakan keinginan tersebut, agar ayah kami mengabulkannya. Seolah-olah itu adalah inisiatif saya. Mereka sepertinya benar, karena seingat saya, beliau tidak pernah menolaknya.
Meskipun ada kesan perlakuan beliau lebih istimewa kepada saya, tidak ada saudara saya yang merasa beliau pilih kasih, lantaran sikap beliau yang terlihat adil dan tidak membeda-bedakan anaknya. Atau bisa jadi, walaupun sebetulnya pembangkang, saya tidak pernah mengeluarkan kata-kata untuk membantah. Saya hanya berani bersungut-sungut di belakang dengan wajah masam.
Kembali ke mimpi. Ini kejadian sebelas tahun yang lalu, tepatnya awal bulan Maret 2009. Saya bermimpi, dan berbicara dengan ibu saya. Beliau sudah berpulang sebelas bulan sebelumnya, pada tanggal 2 April 2008.
Dalam mimpi itu kami berbincang, saya masih ingat dialog kami.
"Na, (begitu panggilan saya di rumah), ibu sendirian di sini, boleh nggak ibu ajak ayah menemani?"Â
Lantas saya membalasnya dengan bertanya, kenapa beliau menanyakannya kepada saya. Bukankah ayah kami tinggal dengan salah seorang adik perempuan saya. Mestinya ibu minta izin kepada adik saya, begitu saya katakan.
"Jadi boleh ya ibu ajak ayah?" Ucap beliau menegaskan.
"Iya, boleh Bu."