Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Puber Kedua, Kala Midlife Crisis Menghampiri

3 Desember 2019   06:43 Diperbarui: 3 Desember 2019   18:46 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua mingguan lalu saya berbincang lewat telefon dengan seorang teman wanita. Sudah lebih dari dua tahun ini dia uring-uringan dan tidak bahagia, begitu menurutnya. 

Wanita yang memasuki usia 40 ini merasa hidupnya membosankan, berputar di rutinitas yang begitu-begitu saja. Tidak memiliki teman baik yang tinggalnya berdekatan dengannya. Saya memang salah satu teman baiknya, tapi jarak kami ribuan kilometer.

Saya katakan bahwa pilihan dia tidak banyak, hanya ada 2; yang pertama memperbaiki hubungan mereka, jujur berbicara dengan pasangan atau jika perlu bisa mencari bantuan tenaga profesional untuk menyelamatkan perkawinan mereka. 

Pilihan kedua adalah berpisah. Saya katakan, jika memilih berpisah jangan berpisah dengan pertengkaran, karena hal tersebut tetap akan membuatnya tidak bahagia.

Tiap fase kehidupan yang kita jalani berbeda-beda, mulai masa sekolah, kuliah atau kerja, kehidupan berikutnya memutuskan berumah tangga atau hidup sendiri. Setiap individu memiliki cara tersendiri mengisi hidup dan menghadapi masalahnya.

Begitu juga ketika menyambut pergantian dari fase satu ke lainnya juga beragam, ada yang menghadapinya dengan tenang tanpa masalah berarti, ada juga yang merasa cemas berlebihan.

Puber kedua, istilah yang kita kenal, tidak hanya didominasi kaum pria saja. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa midlife-crisis (krisis paruh baya) ini hanya dihadapi laki-laki saja.

Mungkin karena wanita itu lebih sering agak sungkan mengekspresikan emosinya, jadi terkesan semua baik-baik saja, adem ayem. Padahal gemuruh emosinya sama juga dengan kaum lelaki.

Seorang wanita, sebut saja Sarah. Kembali ke negara asalnya bersama anak-anaknya. Meninggalkan suaminya yang sedang bertugas di salah satu negara Asia. Dia dan suaminya berpisah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan saja mereka di negara itu. 

Wanita itu bercerita bahwa hubungan mereka tidak bisa diselamatkan. Ia mengatakan bahwa suaminya jatuh cinta dengan wanita setempat. Itu pengakuan suaminya.

Sarah bukan tak berusaha mengajak untuk tetap bersama. Tetapi bukankah suatu hubungan itu hanya akan terwujud jika kedua belah pihak sama-sama menginginkannya?

Di situasi yang lain, seorang wanita, sebut saja namanya Nina, memilih berpisah dengan suaminya. Dia bercerita bahwa semuanya baik-baik saja, rumah tangga mereka sudah cukup lama, belasan tahun, mereka bisa dibilang tidak pernah bertengkar, begitu menurutnya.

"Lantas kenapa kamu pilih berpisah?", tanya saya sedikit heran.

Menurut dia cintanya telah hilang, hidup berkecukupan pun tak berarti membuatnya bahagia. Lalu saya tanya lagi, apakah ia jatuh cinta pada orang lain. Dia mengiyakan.

Pertemuan yang tak terduga, saat ia dalam perjalanan kembali ke tanah airnya, sendirian. Dia berkenalan dengan seorang pria. Hubungan mereka selanjutnya hanya lewat telefon. Dia bilang bahwa ia merasa ada yang hilang dari dirinya selama ini, yang ia sadari setelah bertemu laki-laki itu.

Setahun lebih ia berusaha menata kembali perasaannya, ia berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan suaminya. Tapi ia menyerah.

Nina mengatakan sudah tak bisa lagi menghadirkan cinta yang telah luruh. Ia pun pamit, kembali ke tanah airnya meninggalkan suami dan anaknya. 

Di dalam kepala saya berputar kembali semua pembicaraan kami, dan timbul pertanyaan "bagaimana mungkin seorang Ibu sanggup meninggalkan anaknya?"

Ah, sepertinya saya tidak perlu menjawabnya, karena setiap individu mempunyai masalah dan situasi hidupnya masing-masing. Hanya mereka yang paling tahu dan mengerti hidup yang mereka jalani. 

Midlife-Crisis bisa terjadi pada siapa saja di antara usia 40 dan akhir 50 tahun. Tiap individu mengalami hal yang berbeda, tidak selalu mereka jatuh cinta. Tetapi di fase ini biasanya ada situasi dan perasaan yang berbeda dari hidup mereka.

Memasuki masa kematangan, sedikit mirip dengan situasi remaja yang baru saja meninggalkan masa anak-anaknya.

Bagi wanita, salah satu alasannya adalah kejenuhan dengan hidup yang monoton. Rutinitas yang membelenggunya hanya dalam urusan anak, rumah dan suaminya. Tidak ada teman, tidak ada waktu senggang untuk dirinya sendiri, untuk hobinya.

Alasan lain yang mungkin juga cukup banyak contohnya adalah pernikahan dini dan memiliki anak ketika masih sangat muda, atau pasangan dari remaja dan cukup lama menjalani kehidupan perkawinan mereka.

Bisa juga ketika anak-anak telah dewasa dan meninggalkan rumah atau tidak memiliki anak. Lebih sering wanita yang merasa kehidupannya kosong dan tidak berguna. Tentu tidak semua orang dan pasangan menghadapi fase ini dengan banyak masalah.

Dianjurkan untuk saling terbuka berkomunikasi, mencoba hal-hal baru. Jika anak-anak sudah mulai mandiri, tidak ada salahnya untuk menghabiskan waktu berdua untuk menguatkan kembali hubungan yang mungkin selama ini terbagi karena anak-anak masih kecil.

Pergi berdua saja misalnya makan ke tempat yang menyenangkan atau tempat yang menghadirkan kenangan saat masa pacaran dulu. Liburan berdua ke luar kota juga salah satu alternatif lainnya.

Kesibukan Baru
Mungkin selama ini ada rencana dan impian yang belum terealisasi, maka ini saatnya untuk mewujudkannya. Membuat diri sibuk dengan hal baru, misalnya mencari hobi baru, atau kembali ke hobi lama yang selama ini tidak sempat dilakukan atau terlupakan. 

Tanpa disadari kegiatan yang membuat hati senang juga akan menghadirkan suasana yang lebih menyenangkan di kehidupan kita.

Seorang teman sekolah saya pernah bercerita, bahwa dia menikmati sekali fase ini, dan tips dari saya katanya cukup ampuh bertahan dari hembusan angin di sekitarnya. 

Saya memang pernah bilang padanya, "Tebar pesona boleh-boleh saja, tapi jangan pernah menyambut tawaran apapun. Cukup sampai di situ saja."

Tiap individu punya tanggung jawab atas hidupnya masing-masing. Tinggal kita memutuskan hidup seperti apa yang kita sukai. 

Kebahagiaan itu bukan datang begitu saja seperti kado, tetapi kita sendiri yang harus aktif menghadirkannya. 

.

-------

HennieTrianaOberst

Germany 02 Desember 2019

Referensi, brigitte.de

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun