Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Misi Mencapai Net Zero Emission dan Target Investasi Hijau

30 Juli 2022   05:59 Diperbarui: 30 Juli 2022   06:01 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : merdeka.com

Paris Agreement merupakan persetujuan dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa- Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/ UNFCCC) yang mengawal reduksi emisi karbondioksida yang mulai berlaku pada tahun 2020. Salah satu hasil dari Paris Agreement adalah sebuah komitmen untuk membatasi emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, untuk Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.


Sebenarnya Indonesia memiliki peluang untuk menurunkan emisi karbon hingga 2,3 GtCO2e hingga tahun 2030, atau penurunan 72 % dibandingkan trend saat ini. Dalam rangka mengatasi peningkatan karbon tersebut, Indonesia memiliki kebijakan makro yaitu "pembangunan rendah karbon" (low carbon development) yang intinya adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung, namun disisi lain emisi karbon dapat ditekan.


Mengurai permasalahan di atas, sebagaimana yang sudah diketahui bahwa Indonesia tercatat sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (transisi batubara global menuju energi bersih), untuk itu Indonesia berkomitmen mencapai target nol emisi pada 2060 atau paling cepat 2040, dengan syarat menerima bantuan keuangan dan teknis dari dari komunitas internasional. Lalu pertanyaannya seberapa besar kontribusi negara maju untuk kita?


Jika kita tarik ke belakang, permasalahan tentang dampak perubahan iklim masih menjadi trend bagi negara-negara berkembang. Terutama sekali negara kepulauan dan negara pulau kecil. Sudah disampaikan secara jelas dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi produksi pangan, meningkatkan resiko bencana terkait iklim, dan menghantam negara-negara miskin hingga sulit bangkit. Oleh karena itu, transisi cepat ke ekonomi hijau sangat penting bagi masa depan Indonesia.


United Nations Environment Programme (UNEP) mengistilahkan ekonomi hijau sebagai sistem ekonomi yang rendah karbon, menggunakan sumber daya dengan efisien serta inklusif secara sosial. Dalam konsepsinya, pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja didorong oleh investasi ke aktivitas, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem. Artinya, keberadaan sistem ekonomi sebuah negara
akan berdampak pada perubahan iklim global, karena daya dukung bumi memiliki keterbatasan tertentu. Penyebabnya tidak hanya emisi gas rumah kaca dan pemanasan global tetapi juga eksploitasi sumber daya alam.


Beruntunglah Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 saat ini, menindaklanjuti hasil pertemuan COP26 sesuai dengan Paris Agreement on Climate Change 2015---2030. Berdasarkan keputusan dalam G20 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Roma yang sebelumnya  menciptakan konsensus politik antara 20 negara paling kuat di dunia, yang bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi akan membuat pekerjaan di COP26 bisa lebih mudah, hal ini tentu saja dengan ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah G20 bisa menjadi momentum untuk meningkatkan investasi hijau di Indonesia.


Investasi hijau adalah kegiatan penanaman modal yang berfokus pada perusahaan atau prospek investasi yang memiliki komitmen terhadap konservasi sumber daya alam, produksi serta penemuan sumber alternatif energi baru dan terbarukan (EBT), implementasi proyek air dan udara bersih, serta kegiatan aktivitas investasi yang ramah terhadap lingkungan sekitar. Studi dari ILO tahun 2018 menyatakan bahwa berinvestasi pada sektor hijau dapat mengurangi peningkatan suhu hingga 2C sehingga menciptakan peningkatan bersih 14 juta pekerjaan. Dalam hal untuk menggali sumbu perekonomian yang baru dan ramah lingkungan, investasi hijau dapat menjadi alternatif solusi untuk mendapatkan dukungan modal yang besar dalam mendukung proyek pembangunan.

Sebagai manifestasi perlindungan lingkungan, kehadiran investasi hijau dapat berkontribusi dalam menurunkan emisi sebesar 29% sebagaimana hasil ratifikasi Kesepakatan Paris. Dengan kegiatan penanaman modal yang berfokus pada perusahaan atau prospek investasi yang memiliki komitmen terhadap konservasi sumber daya alam dan kegiatan aktivitas investasi yang ramah terhadap lingkungan sekitar. Untuk itu Indonesia harus fokus pada investasi asing di sektor ekonomi hijau, tentunya dengan syarat ramah lingkungan dan yang paling penting Indonesia juga harus bisa membangun sistem regulasi lingkungan yang efisien dan berkelanjutan sehingga dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan investasi dan sekaligus mencegah kelangkaan energi lebih lanjut serta kerusakan lingkungan.


Pemerintah merupakan pemeran utama dalam hal penyusunan kebijakan, peraturan ataupun strategi mitigasi perubahan iklim dan dampak perubahan iklim diharapkan terjadi dalam jangka panjang. Hal yang perlu diingat juga bahwa jangka waktu pengambilan keputusan, investor yang biasanya lebih pendek membuat betapa kebijakan pemerintah menjadi begitu penting sementara perilaku investasi juga dipengaruhi oleh dana yang diinvestasikan, manfaat ekonomi, efek sosial, permintaan pasar, dan sebagainya. Dalam investasi hijau, investor juga akan memperhatikan perubahan iklim, energi alternatif, hak asasi manusia, keragaman, investasi masyarakat atau masalah lainnya, artinya strategi-strategi mitigasi melalui investasi berbasis lingkungan (green investment) akan dipilih investor hanya jika pengembalian investasi jangka pendek hingga menengah bernilai positif dan sekaligus memberikan dampak baik terhadap lingkungan. Dari sisi strategi pembiayaan Indonesia telah mengembangkan produk pembiayaan berkelanjutan, seperti Green Bond dan Green Sukuk. Menurut bank Indonesia, Green Bond telah tumbuh secara ekspansif dan diproyeksikan mencapai USD260 miliar secara akumulasi pada 2021-2023. Lebih lanjut pada desember 2021 Bank Indonesia telah memberikan cadangan devisa sebanyak USD5,82 miliar dan sebanyak USD1,83 miliar diinvestasikan pada portofolio hijau. Hal ini merupakan kombinasi untuk meningkatkan kapasitas Indonesia agar selalu siap mendukung pemulihan global seiring dengan semangat G20.


Nah, sekarang kembali ke permasalahan, lalu bagaimana Indonesia bisa mencapai target net zero emission pada tahun 2060? Indonesia saat ini membutuhkan total investasi Rp 77.000 triliun hingga 2060 atau setara 5 kali lipat dari PDB Indonesia di tahun 2020. Namun demikian implementasi net zero emission melalui pembangunan rendah karbon betul-betul bisa didorong bersama dalam transisi yang lumayan panjang dan tentunya mengarah ke ekonomi hijau yang tangguh dan inklusif. Dan sudah ditetapkan sebelumnya dalam Deklarasi Roma bahwa negara anggota G20 harus mendorong agenda-agenda perubahan iklim apalagi dengan dukungan pendanaan US$ 100 miliar dari negara maju. Dengan begitu potensi Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi karbon dapat menjadi terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun