Mohon tunggu...
Hengkinata Hengkinata
Hengkinata Hengkinata Mohon Tunggu... -

Kau menyukai lelucon dan aku menyukai tertawa. Justru ketika kita menyadari, dengan sedikit sakit, harapan yg sulit dipenuhi, impian yg rasanya mustahil.- UIN jogja(fishum)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wanita dengan Sepatu Hak Tinggi yang Cacat Sebelah

2 Agustus 2014   17:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:36 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1406949433970862699

Dulu di ranjang ini..



Wanita bertubuh molek tertidur pulas dengan peluh keluar dari pori keningnya. Prita—aku menyebutnya dengan nama itu, Ia sering kelelahan akibat seharian bekerja di sebuah bar kecil seberang jalan. Karena apartemenku hanya berseberangan dengan tempatnya bekerja, Ia sering menghabiskan malam bersamaku.

[caption id="attachment_317529" align="alignright" width="300" caption="pensil on paper by @hengkinata"][/caption]

Seharian Ia menyangga penat di atas pundak kecilnya. Suara sepatu hak tinggi yang dipakai seringkali terdengar olehku menaiki tangga. Walau terkadang suara ketukan sepatunya terdengar aneh. Aku bisa menebak, setelahnya Ia akan membuka pintu dengan kunci yang sengaja ku duplikatkan untuknya dan aku cepat-cepat menyeduh teh panas untuk kita minum berdua sambil bercengkerama. Ia selalu duduk di ujung ranjang sebelah kanan. Tak jarang aku terlihat seperti orangtuanya yang siap mendengarkan cerita anaknya tentang pelajaran di sekolah. Aku  mendengarkan cerita tentang segala macam hal yang Ia lakukan setiap hari di tempatnya bekerja. Tentang rekan kerja yang kelebihan berat badan, tentang pelanggan yang sering menggoda dengan mengajaknya makan malam di restoran mahal juga tentang pemilik bar yang sering mengintip isi dalam roknya sewaktu Ia menundukkan punggungnya.

Aku juga hafal dengan kebiasaannya; melepas kemeja, mengusap keringat di tengkuk kemudian berkata, “Sayang, kaki ku pegal”. Kata-kata itu selalu mebuatku kecil di depannya. Bukan tentang kaki yang pegal, tapi karena sepatu hak tinggi miliknya sudah rusak. Hak sebelah kiri pernah hampir patah, kemudian aku mengelemnya dibagian pinggir hak sepatunya. Sepatu dengan hak yang cacat sebelah, membuat kakinya selalu pegal. harusnya aku memberikan uang, membelikannya sepatu baru, namun aku hanya bisa menimpali kata-katanya; “Sabar ya sayang. Setelah ini aku pijit kakimu. Mandi dulu supaya badanmu segar”



Ia tertidur dengan pulas dalam pelukan. Keesokkan harinya, tubuh itu pergi meninggalkan aroma kenangan dan kadang dengan sisa-sisa percumbuan semalam. Aku cukup menyibakkan gordin jendela dan mengintip ke arah bar di seberang jalan agar bisa melihatnya. Ia sudah berada disana, mondar-mandir membawa nampan dengan rok mini hitam diatas lutut dan mengenakan  kemeja putih dengan kancing atas terbuka hingga terlihat jelas belahan dadanya. Namun, sejauh mataku memandang, Ia selalu terlihat baik-baik saja. Hal itu cukup membuatku lega.

***

“Sayang, nanti malam aku pulang agak telat. Kamu bisa makan di luar, tidak perlu menungguku pulang”

Sebelum aku bertanya kenapa, Ia susah bergegas menyandang jaket dan tas jinjingnya, mengecup bibirku lalu pergi tergesa-gesa. Kali ini aku tak sempat mengintipnya lewat jendela, karena kawanku sudah menungguku di bawah tangga.

“Aku juga pulang telat. Ada rapat kecil kawan-kawan redaksi di—-kantor ”. Sebelum aku selesai berkata, Ia telah pergi sambil menutup pintu kamar. Ketukan sepatu hak tinggi yang terdengar aneh itu, dengan cepat dan tegas menuruni tangga.

Begitulah kita menghabiskan waktu berdua. Di luar sana orang tak pernah tahu, bagaimana kita. Aku sibuk dengan berita-beritaku. Menjadi wartawan lepas selalu tak pernah dapat gaji yang memuaskan. Sekali mendapat berita hebat, kami bagi rata dengan wartawan lainnya. Mungkin secangkir kopi cukup untuk sebuah berita besar yang ku bagi dengan mereka. Lalu honornya masih sama saja. Berita besar atau bukan tak ada bedanya, toh aku mendapat honor yang sama.

Karena itu, impianku semakin susah ku dapat. Benar adanya jika Prita tak bisa dibilang kekasihku, juga kawanku. Namun, aku seperti punya tanggung jawab besar atas dirinya. Mengajak Prita pergi dari sini. Memberikannya rumah dengan taman bunga yang indah mengelilinginya. Memberikan Ia kartu kredit dengan jutaan uang di dalamnya, agar Ia bisa belanja apapun yang Ia suka—juga membeli rok panjang agar tak terlihat pantatnya ketika ia menundukkan punggungnya. Membawa Prita hidup dengan kebahagiaan tanpa harus berkutat di dalam bar kecil yang menyebalkan itu. Kenyataannya, honorku hanya cukup untuk membeli makan beberapa hari saja, sambil sesekali membelikan bir untuk merayakan akhir pekan dengannya.

***

Malam ini, seharusnya tak ada perayaan untuk kita berdua. Namun, setelah aku sampai rumah kudapati Ia menyiapkan banyak sekali makanan cepat saji, bir, minuman kaleng, dan berbungkus-bungkus camilan.

“Ini perayaan untuk apa?. Bukankah kamu belum gajian untuk bulan ini?”

“Aku dapat bonus dari bos. Aku membeli ini untukmu. Ayo makan selagi masih hangat” Ia berkata sambil sibuk menyiapkan mangkuk sup di atas meja.

Kita berdua menikmati perayaan kecil tersebut dengan khidmat. Kita tertawa lepas, melahap makanan dan camilan yang sudah ada. Namun, aku masih tertahan. Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Namun, melihatnya bahagia, melihat mata sipitnya ketika tertawa mengurungkan niatku bertanya, walau akhirnya aku tahu ini semua darimana.

Selesai dengan perayaan kecil yang penuh pertanyaan tersebut, kami mengakhirinya dengan singkat. Aku memilih merokok bersandar di sisi ranjang, dan Ia memutuskan untuk tidur dengan cepat, sebab esok pagi Ia sudah harus bekerja seperti biasa.

Selagi Ia tertidur, dengan teliti ku amati setiap gurat wajahnya. Perasaanku campur aduk. Iba melihatnya ketika harus bekerja keras sendirian. Apalagi dengan sepatu hak tinggi yang cacat sebelah. Itu membuatnya tak nyaman dan kesakitan sepanjang hari ketika Ia bekerja.

Sekarang tubuh itu lemas tak berdaya, pulas di atas ranjang. Jemarinya yang lentik seakan takluk pada tulang-tulang tangan yang menopangnya, menyandarkannya pada bantal kapuk yang lembut. Ia terkulai di atas bantal yang dipakainya menadahi wajah. Bibirnya tak pernah terkatup sewaktu Ia tidur. Rongga mungil itu selalu mengeluarkan napas hangat yang menyapu butir debu halus yang di keluarkan kapuk diatas bantal yang dipakainya. Aroma yang dikeluarkan tiap harinya berubah-ubah. Kadang aroma sirup melon, tak jarang juga aroma minuman kaleng rasa nanas keluar pelan dari rongga mulutnya. Aku bahkan sampai bisa menebak sepiring mie goreng pasti telah Ia kunyah habis sebelumnya. Hari ini, aroma itu bercampur aduk dari aroma sup, bir dan cemilan yang kita makan sebelumnya. Aroma-aroma itu selalu ku terka sewaktu Ia terlelap.

Tubuh molek Prita membuat tergerak untuk selalu mendekapnya dari belakang. Kumatikan rokok dan pelan-pelan naik ke atas ranjang, mengelus pelan rambut dan mengendus hangat napasnya. Aku tak pernah salah menebak semua hal yang dikunyahnya seharian. Sampai akhirnya tebakanku benar, aroma sebuah mulut besar, berkumis, basah dan berbau busuk keluar dari mulut mungilnya. Tubuh indah itu kugoyangkan dengan kencang lalu aku berontak bertanya tentang apa yang baru saja kucium keluar dari dalam mulutnya. Ia bangun lalu terperanjat. Bola matanya membesar, menatapku dengan penuh kebencian, kemudian secepat kilat tangannya bergerak melayangkan tamparan kencang ke pipi kananku.

“Jimmy selalu memberiku uang lebih daripada kamu!. Uang ini juga untuk makanmu tolol! Itu sebabnya mengapa aku tak mau menikah denganmu. Urus saja dirimu sendiri!” Ia berkata dengan penuh emosi.

Dadaku sesak. Tubuhku tak bergerak.

Kemudian Ia berdiri memakai kutang untuk menutupi putingnya, mengenakan jaket, menyandang tas jinjing warna coklat lalu Ia bergegas pergi sambil mengumpat terus-terusan.

Debu-debu masih memenuhi ruang. Semua berlangsung cepat. Aku diam dengan tubuhnya yang kemudian hilang. Ketukan sepatu hak tinggi miliknya terdengar menuruni tangga—suaranya tak lagi terdengar aneh seperti biasa. Malam ini, pertengkaran kami membuat semua berubah. Aku tak lagi mengintipnya dari balik gordin jendela kamar. Ia juga tak pernah lagi datang tertidur pulas di atas ranjang.

Dulu, di ranjang ini..

Tergolek tubuh wanita yang menjadi harapanku untuk masa depan. Yang bakal menjadi istriku dengan sah dan melahirkan banyak anak. Meskipun aku tahu, selama ini kita tak pernah sepakat untuk memutuskan kita  kawan atau lebih dari sekedar kawan. Aku tak peduli Ia siapa—pelayan bar, wanita dengan sepatu hak tinggi yang cacat sebelah. Seharusnya, aku lebih tidak peduli kalaupun Ia wanita simpanan Jimmy—lekaki bau dan berkumis, pemilik bar tempatnya bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun