Industri kendaraan listrik sedang gencar memasarkan teknologi fast charging. Di berbagai kota, ratusan stasiun pengisian cepat dibangun dengan narasi seakan-akan inilah masa depan mobilitas listrik. Padahal, dari sudut pandang kesehatan baterai dan pola penggunaan nyata di negara-negara yang lebih dahulu memakai EV, slow charging tetap yang terbaik.
Fast charging lahir dari mindset ICE
Kegilaan terhadap fast charging sesungguhnya lahir dari mindset kendaraan bensin atau internal combustion engine (ICE). Pengguna terbiasa mengosongkan tangki lalu "isi penuh di SPBU dalam hitungan menit." Pola pikir itu dipindahkan ke EV, seolah pengalaman isi ulang harus sama cepatnya. Padahal logika EV berbeda: setiap kali parkir, kendaraan bisa langsung terhubung ke listrik dan perlahan mengisi. Tidak ada alasan menunggu "kosong" untuk kembali terisi penuh.
Sayangnya, mindset salah kaprah ini membuat banyak orang menganggap fast charging sebagai kebutuhan primer, padahal justru bisa mempercepat degradasi baterai. Pengisian daya cepat meningkatkan suhu sel dan memperbesar stres kimia, yang dalam jangka panjang menurunkan kapasitas penyimpanan energi.
Data dari negara perintis EV
Pengalaman negara-negara yang lebih dahulu menggunakan EV justru menunjukkan hal sebaliknya. Di Norwegia, 70 persen pengisian EV dilakukan di rumah dengan colokan AC Level 2. Di Amerika Serikat, survei Department of Energy mencatat lebih dari 80 persen pengisian juga dilakukan di rumah. Bahkan di Tiongkok, meski infrastruktur fast charging sangat masif, mayoritas pengguna tetap mengandalkan slow charging di kompleks perumahan atau kantor.
Slow charging menjaga baterai
Riset menunjukkan slow charging lebih ramah terhadap kesehatan baterai. National Renewable Energy Laboratory (NREL), lembaga riset energi terbarukan milik pemerintah Amerika Serikat, menegaskan bahwa pengisian dengan arus rendah menjaga suhu sel lebih stabil, memperlambat degradasi, dan memperpanjang usia pakai.
Di sisi lain, fast charging memang punya fungsi: perjalanan jarak jauh, kondisi darurat, atau kebutuhan logistik tertentu. Namun menjadikan fast charging sebagai cara utama mengisi daya EV sama artinya memperpendek umur baterai yang harganya mencapai 30--40 persen dari nilai kendaraan.
Proyeksi global
NREL juga memproyeksikan bahwa kebutuhan infrastruktur terbesar justru ada pada slow charging di rumah dan tempat kerja. DC fast charging dipakai hanya sebagai pelengkap. Pola ini konsisten dengan perilaku pengguna di negara-negara yang lebih matang ekosistem EV-nya: isi perlahan setiap hari, isi cepat hanya saat terpaksa.