Pada tahun 2020/2021, komunitas kendaraan listrik (EV) dengan tegas menolak kebijakan standarisasi baterai secara nasional, yang saat itu berupaya menetapkan bahwa semua kendaraan listrik harus menggunakan baterai berbasis Li-ion/NCM. Penolakan ini bukan sekadar perlawanan terhadap regulasi, melainkan sebuah langkah penting dalam menjaga fleksibilitas teknologi yang dapat beradaptasi dengan kebutuhan pengguna. Â
Setiap kendaraan memiliki desain dan peruntukannya sendiri, termasuk pemilihan baterai sebagai sumber tenaga utama. Standarisasi baterai, meskipun bertujuan menciptakan keseragaman dan efisiensi industri, sering kali berisiko membatasi inovasi. Jika hanya satu jenis baterai yang diperbolehkan, maka perkembangan teknologi lain yang mungkin lebih cocok bagi kendaraan tertentu (lebih aman, lebih tahan lama, atau lebih ramah lingkungan) akan terhambat. Â
Lebih jauh lagi, kebijakan standarisasi baterai yang mengarah pada penggunaan Li-ion/NCM tidak sepenuhnya berlandaskan pertimbangan teknis atau keamanan. Penetapan standar ini lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, terutama untuk memperbesar penyerapan produksi nikel dalam negeri. Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia tentu memiliki kepentingan dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya ini. Namun, keputusan yang hanya berorientasi pada industri bahan baku tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan, efisiensi, dan diversifikasi teknologi justru bisa menjadi penghambat bagi perkembangan kendaraan listrik yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Â
Di sisi lain, penulis juga menyadari bahwa standarisasi memiliki manfaat yang tak bisa diabaikan. Dengan adanya standar yang jelas, kompatibilitas antar kendaraan dan infrastruktur pengisian daya menjadi lebih baik, sehingga pengguna tidak perlu khawatir tentang kesulitan operasional akibat perbedaan teknologi baterai. Produksi dalam skala besar dengan spesifikasi seragam juga menekan biaya serta menyederhanakan proses distribusi dan perawatan. Regulasi yang menetapkan standar baterai juga memastikan aspek keselamatan dan keberlanjutan lingkungan, sehingga baterai yang digunakan memiliki kualitas terjamin serta minim dampak negatif bagi ekosistem. Â
Tetapi, pada kenyataannya, tidak ada satu jenis baterai yang ideal untuk semua kendaraan listrik. Â
Sepeda motor listrik memiliki keterbatasan ruang, sehingga membutuhkan baterai dengan densitas energi tinggi agar tetap ringan namun bertenaga. Dalam hal ini, baterai berbasis Li-ion/NCM menjadi pilihan yang tepat karena kapasitas energinya yang besar dalam ukuran yang kecil, memungkinkan kendaraan roda dua tetap ringkas dan efisien. Â
Untuk mobil listrik, faktor keamanan menjadi prioritas utama. Berbeda dengan sepeda motor yang terbuka, mobil memiliki kabin tertutup yang berisi penumpang, sehingga risiko kebakaran akibat baterai harus ditekan semaksimal mungkin. Karena itu, baterai LiFePO4 (LFP) sering dipilih karena stabilitas termalnya yang lebih baik dibandingkan Li-ion/NCM, menjadikannya solusi yang lebih aman bagi kendaraan penumpang. Â
Sementara itu, kendaraan besar seperti bus menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Bus mengangkut puluhan orang dan beroperasi dalam jangka waktu lama secara terus-menerus, sehingga memerlukan baterai dengan ketahanan ekstra dan risiko kebakaran yang sangat minim. Baterai Lithium-Titanate (LTO) menjadi solusi ideal karena memiliki masa pakai lebih panjang dan tingkat keamanan superior terhadap degradasi maupun kebakaran. Â
Di luar pilihan teknologi yang lebih modern, baterai lead-acid masih memiliki tempatnya dalam ekosistem kendaraan listrik, terutama untuk sepeda listrik yang hanya digunakan untuk jarak dekat. Meski memiliki densitas energi lebih rendah dibandingkan baterai Li-ion atau LFP, baterai ini menawarkan biaya produksi yang lebih murah dan kemudahan daur ulang. Industri daur ulang baterai lead-acid sudah berkembang luas, menjadikannya pilihan menarik bagi kendaraan listrik ringan yang tidak membutuhkan kapasitas daya besar. Â
Keunggulan pilihan teknologi baterai terlihat jelas dari kasus terbaru yang melibatkan mobil listrik BYD di Jakarta. Dalam insiden tersebut, kendaraan yang menggunakan baterai berbasis LFP hanya mengeluarkan asap tanpa terbakar. Bayangkan jika mobil tersebut menggunakan baterai Li-ion yang memenuhi seluruh lantai kendaraan, dampaknya bisa jauh lebih berbahaya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemilihan teknologi baterai yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing kendaraan. Â
Lebih jauh lagi, kebijakan standarisasi baterai yang terlalu mengedepankan Li-ion tanpa mempertimbangkan alternatif lain dapat membawa risiko besar bagi ekosistem kendaraan listrik, terutama dalam aspek keamanan dan keberlanjutan teknologi. Alih-alih memilih solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan kendaraan dan pengguna, kebijakan semacam ini dapat menghambat inovasi dan menciptakan ketergantungan pada industri tertentu. Â