Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (10): Perseteruan Meraih Posisi

19 Agustus 2019   09:37 Diperbarui: 23 Agustus 2019   20:20 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Bunga sedang yel-yel membakar semangat juang (Dokpri)

Bagian 10: Perseteruan Meraih Posisi


Oleh: Hendriko Handana

"Ko, nanti kalau kamu masuk TV, Bapak bisa lihat kamu di barisan sebelah mana?", tanya Pak Firdaus, pembina OSIS kami, suatu kali di ruangan Tata Usaha sekolah.

"Nanti Bapak cari saja di tim yang maju ke depan tiang bendera, saya bakal ada di sana" jawabku optimis.

Namun, belakangan aku sadar bahwa optimis dan takabur itu beda tipis.

~~~

Paskibraka adalah satu tim yang padu, bukan atraksi individu. Agar penampilan tim ciamik, maka semua personil mesti bisa bermain di posisinya masing-masing dengan cantik dan energik. Kegagalan individu sama saja dengan kegagalan tim. Tentu juga, keberhasilan tim adalah hasil permainan kompak dan hebat seluruh personil.

Meski secara tim, semua personil punya andil dan kedudukan sama penting, namun ada beberapa posisi yang dianggap punya gengsi dan perhatian lebih tinggi. Dan, posisi-posisi tersebut selalu jadi incaran.

Berburu posisi bukan hal baru bagi Paskibraka. Ditingkatan manapun, kabupaten/kota, propinsi, dan nasional, situasinya sama. Apalagi nasional, doktrin itu sudah ditanamkan sebagai seorang utusan propinsi.

"Kamu usahakan meraih posisi penting!", kira-kira begitu pesan beberapa pembina dan senior memancing semangatku sebelum bertolak ke ibukota.

Nah, posisi apa saja yang jadi rebutan?

Pertama, pastinya pembawa bendera, lebih jamak disebut pembawa baki. Pembawa baki bertugas mengambil bendera pusaka dari presiden selaku inspektur upacara. Pembawa baki juga yang membawa bendera duplikat menuju tiang sebelum diserahkan kepada tim pengibar. Dulunya, pembawa baki ada dua personil. Namun, sejak tahun 2000, posisi ini menjadi satu personil saja karena bendera pusaka tidak dibawa lagi mengiringi bendera duplikat. Kondisi bendera yang sudah mengkuatirkan menjadi pertimbangan agar bendera bersejarah panjang itu dimuseumkan.

Selama tampil, pembawa baki nyaris selalu menjadi pusat perhatian, dari awal sampai akhir pelaksaan. Meski demikian, sumpah, sama sekali aku tak berniat bersaing merebut posisi itu. Bukan apa-apa, selain tak cukup kesabaran menapaki tangga Istana perlahan demi perlahan. Aku kadang bertanya kenapa tidak dibuatkan tangga eskalator saja. Hehe... Yang pasti, memang pembawa baki tidak disiapkan bagi kami Paskibraka putra. 'Cucok meong', kalau aku mendapat posisi ini. Kan konyol. Haha...

Pembawa baki tidak cukup dengan paras dan fisik yang mumpuni. Lebih dari itu perlu mental tangguh agar tetap tenang saat berada dalam tekanan. Dan juga tetap konsentrasi meskipun jadi pusat perhatian.

Kedua, posisi komandan kelompok 17 disingkat Danpok 17. Tugasnya memimpin kelompok 17 dengan memberi aba-aba gerakan yang mesti dilakukan.

Danpok 17 bernaung di bawah pimpinan Komandan Pasukan (Danpas) yang dijabat oleh seorang perwira TNI/Polri terpilih berpangkat Kapten atau Ajun Komisaris Polisi.

Saat masuk dari daerah persiapan, seluruh kelompok dipimpin oleh Danpas. Sedangkan danpok 17 mulai bertugas memimpin pasukan sejak kelompok 17 dan kelompok 8 memasuki halaman rumput Istana Merdeka menuju tiang bendera. Saat itu, kelompok 45 yang diisi Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) telah memisahkan diri dari formasi pasukan.

Menjadi seorang komandan, dibutuhkan suara lantang, prima, dan keterampilan olah vokal. Bukan perkara gampang menjaga suara tetap stabil jika tiap hari berteriak selama 3 minggu berturut-turut.

Ketiga, tim pengibar meliputi posisi danpok 8, penggerek dan pembentang. Tiga personil pengisi posisi ini terlibat langsung memastikan bendera berkibar di atas tiang 17, begitu kami sebut tiang bendera di halaman Istana Merdeka karena tingginya menjulang 17 meter.

Danpok 8 berposisi di tengah. Bertugas memimpin kelompok 8 yang terdiri dari 8 personil Paskibraka dan 4 personil Pasukan Pengaman Presiden alias Paspampres. Danpok 8 juga yang menerima bendera dari pembawa baki untuk diikat pada tali tiang 17.

Penggerek berposisi di sebelah kiri. Penggeraklah yang mengikat bendera pada cantolan tali. Cantolan terbuat dari kayu itu didesain khusus agar secara cepat terikat namun melekat kuat. Penggerek juga yang bertugas memastikan agar bendera naik ke puncak tiang saat musik Indonesia Raya selesai dikumandangkan. 

Tarikan ini ada rumusnya. Empat puluh tarikan disesuaikan dengan lirik lagu Indonesia Raya. Jika penggerek kehilangan tarikan satu tempo saja, maka pengerak pusing bukam kepalang. Bendera bisa terlambat berkibar di atas tiang.

Nah, bagaimana mengukur panjang tali di setiap tarikan? Biar Paskibraka saja yang tau dan mengerti.

Sedangkan pembentang, berposisi di sebelah kanan. Ia membentang bendera dengan gerakan sigap dan tangkas saat kain selebar 2x3 meter itu siap untuk dikibarkan. Bahkan sebelum upacara dimulai, ia harus memastikan bahwa bendera itu dilipat dengan lipatan yang benar. Pembaca mungkin pernah melihat bendera terpelintir saat dibentangkan? Nah, itu akibat lipatan tidak dipastikan dengan benar.

Ketangkasan dan momen yang tepat dalam membentang juga perlu jadi perhatian. Saat dibentang, bendera berbunyi seperti robekan. Empat sudut bendera mesti ditarik kencang. Satu sisi sampai lepas maka... gagal.

"Bendera, siap!" begitu teriakan khasnya saat bendera dibentangkan vertikal.

Nah, ada tiga momen paling mendebarkan saat pengibaran. Ini yang jadi indikasi bahwa pengibaran berhasil dilaksanakan. Pertama, proses serah terima bendera dari inspektur upacara kepada pembawa baki. Kedua, proses bendera dibentangkan saat sebelum dikibarkan. Dan ketiga, bendera menyentuh puncak saat lagu Indonesia Raya selesai berkumandang.

Nah apa yang terjadi jika ketiga momen berharga ini gagal? Tangan kanan bentuk posisi satu jari telunjuk, gesekkan ke leher horizontal dari kiri ke kanan. Penggal!!! 

Satu pasukan akan menangis bombay meraung-raung. Lunglai seperti tentara kalah perang. Jangan coba-coba!!!


~~~

"Saya kasih kesempatan kalian yang ingin mencoba posisi Danpok 17?" tantangan pelatih saat hari kedua latihan formasi.

"Siap, saya Kak!" segera kujawab tawaran itu. Tentu tak ingin kusia-siakan. Aku langsung ambil posisi sebelah kanan barisan. Persis di samping komandan pasukan.

Saat itu tim Bunga, tim yang kunaungi sejak awal, mendapat giliran latihan pengibaran. Aku hadapi santai tanpa beban, meskipun tak cukup yakin dengan kualitas suaraku sendiri. Sering gemetar saat suara aba-aba panjang. Tak jarang juga tercekat di tenggorokan. Haha... Dasar penasaran.

Dari awal, memang aku tak berniat mengambil posisi Danpok 17 itu. Ambisi utamaku menjadi komandan kelompok 8. Bukan apa-apa, Danpok 17 mengharuskan suara yang sangat stabil dan teriakan panjang. Olah vokalku tak cukup mumpuni. Sedang Danpok 8, meski juga harus lantang dan keras, beruntung tak ada aba-aba panjang.

Namun, tantangan pelatih kujawab sudah. Kamusku, tak ada pilihan mundur apalagi menyerah. Aku tak mau kalah.Kukerahkan semua kemampuan.

Belakangan, aku menyesal juga memaksa ambil posisi itu. Akibat teknik vokal yang tidak pas, aku mengalami radang tenggorokan. Satu hari berikutnya, suaraku hilang. Bicara keras keluarkan suara susah luar biasa. Ah kawan..., itu berlangsung seminggu lamanya.

Ambisi menjadi Danpok 8 pun mesti kukubur dalam-dalam. Aku mesti pasang strategi lain pilih posisi. Aku beralih ke samping, sebelah kanan memantapkan posisi sebagai pembentang.

Nah, bagaimana proses pencarian posisi itu berlangsung?

Di minggu-minggu awal kami diberikan kebebasan mencari pasangan tim pengibaran masing-masing. Bebas mengajukan diri. Sehingga semua punya kans yang sama. Tidak ada anak emas. Pelatih sangat objektif. Yang punya performa paling bagus, mereka akan diberi kesempatan berikutnya untuk membuktikan.

Proses itu berjalan sangat dinamis. Aku tak ingat persis, setelah beberapa kali gonta-ganti personil, mengantarku tergabung dalam salah satu tim handal. Gilang utusan Jakarta sebagai Danpok 8, Chris asal Manado Sulawesi Utara sebagai Penggerek dan aku sebagai pembentang. Sampai minggu kedua latihan, tim kami bersaing ketat dengan satu tim lain. Indra utusan Pontianak Kalimantan Barat sebagai Danpok 8, Dewa asal Bangli Provinsi Bali, dan Ar asal Baubau Sulawesi Tenggara.

Nama terakhir, Ar, sahabatku satu ini adalah pesaing menjadi pembentang. Kami selalu bertukar posisi. Saat Ar jadi pembentang, aku menempati posisi penjuru kanan kelompok 17. Begitupun sebaliknya, saat aku ditunjuk sebagai pembentang, Ar lah yang menempati posisiku.

Meski demikian, persaingan kami seru dan positif. Menjadikan kami masing-masing tampil dengan performa terbaik. Sama sekali tidak seperti saingan politik saling jegal. Apalagi menusuk teman dari belakang. Kami benar-benar menikmati menjadi satu tim solid.

"Kamu pasti bisa, Ko!" kalimat itu beberapa kali dilontarkan Ar saat tim kami gantian mendapatkan kesempatan latihan formasi mengibar di tiang. Dan akupun sangat mendukung Ar. "Mendukung Kau untuk jadi Penjuru 17 saja, Ar, bukan pembentang!" hahaha...

Perseteruan meraih posisi ini berlangsung sampai H-7. Setelahnya, pola formasi dan siapa yang akan mengisi yang akan kian kentara. Kemudian, tiap personil fokus dengan posisinya masing-masing. Karena kita tampil tim, posisi apapun adalah bermakna penting. Jangan sampai ada kesalahan sedikitpun. 

Namun begitu, posisi bisa saja dirombak sesuai kebijaksanaan dan naluri pelatih. Jangan salah, beberapa menit sebelum tampil upacara kemungkinan rombak posisi itu masih berlaku. Dan... itu pernah ada. Mental kami mesti siap tampil di posisi manapun berada.

~~~


Alih-alih memikirkan posisi kami masing-masing, tim putra justru sibuk dengan nominasi posisi pembawa baki. Biasa... itu naluri lelaki.

Suatu kali, beberapa diantara kami sibuk bercengkrama di ruang tamu asrama putra.

"Menurut kalian siapa yang akan terpilih membawa baki?" begitu topik hangat dalam diskusi.

Ada yang menjagokan Inong asal Sulteng, karena putih dan anggun. Ada juga yang menjagokan Erma asal Kalsel, katanya bentuk muka dan rambutnya cocok dengan tipikal seorang pembawa baki.  Yang lain mendukung Pretty asal Lampung karena pembawaan tenang dan murah senyum. Nominasinya hanya itu saja? Tentu tidak, itu hanya sekedar menyebutkan komentar-komentar yang kuingat. Ada pula yang menjagokan capaska putri incarannya masing-masing. Alasannya, karena naksir. Haha...

Aku mendukung siapa? Acut, seorang putri berjilbab dari Aceh. Sebagai seorang yang berpikiran konservatif, aku menginginkan putri memakai hijab untuk mengisi posisi itu. Belum ada sejarahnya saat itu. Bukan itu saja, tahun-tahun tersebut Aceh sedang panas menghadapi pergolakan separatis Gerakan Aceh Merdeka. Kelihatannya bagus kalau Aceh diberikan posisi itu. Sok serius dan idealis ya..? Haha... Emang dari sononya.

Anehnya... hasil diskusi beberapa capaska putra yang ikut saat itu, tidak ada yang mendukung pasangan propinsinya masing-masing. Hehe... Rumput tetangga memang kelihatan lebih hijau, Kawan.


(masih bersambung...)

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim


Bunga Bangsa 2003, sampai kapanpun kami akan tetap menjadi tim yang solid
Bunga Bangsa 2003, sampai kapanpun kami akan tetap menjadi tim yang solid
Tim Putri Bunga Bangsa bersama para pelatih
Tim Putri Bunga Bangsa bersama para pelatih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun