Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bacot Netizen nan Budiman

1 Maret 2019   14:21 Diperbarui: 1 Maret 2019   14:30 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi shutterstock

Perdebatan soal pertarungan pemilihan presiden dan hal-hal turunannya di media sosial berlangsung cukup sengit. Saya tidak yakin ini akan berakhir dalam waktu singkat, meski seandainya jika pemilu dipercepat. Yang terjadi hanya ritme saja yang turun-naik tergantung peristiwa yang jadi pemantik.

Namun belakangan saya sedang menikmati hal ini. Bukan karena akun-akun nyinyir bin julid sudah saya unfollow atau unfriend. Jikalau begitu, mungkin friend list saya akan berkurang drastis. Bukan juga karena sama sekali saya berhenti berselancar dunia online.

Sekarang, komentar-komentar pedas ini justru saya tempatkan menjadi  sebuah hiburan. Beberapa akun yang sering saya 'nikmati' adalah milik beberapa tokoh di facebook dan instagram. 

Pastinya dua calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang saya follow. Juga akun calon wakil presiden Sandiaga Uno. Sayangnya saya belum menemukan akun official milik KH. Ma'ruf Amin. Jika ada, tentu dunia perjulidan akan semakin bermutu. Ada juga Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, gubernur bertetangga dari dua kubu yang tidak sama.

Di saat muncul postingan baru dari akun-akun tersebut, saya justru kurang tertarik membaca konten yang diberitakan. Perahatian saya tertuju pada kolom komentar. Komentar semacam, "semoga menang", "kami mendukung" ataupun "ini calon pilihan kami", bagi saya, ini begitu normatif. Tidak menarik. Justru saya bersemangat membaca komentar-komentar pedas beserta jawaban-jawaban counter attack-nya. Ini baru seru. Haha. Rusak memang.

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Selain dukungan, komentar mereka juga dipenuhi dengan sindiran, satire, tagihan janji, dan lain-lain. Anehnya, pada akun personal mereka masing-masing, justru para netizen seringkali membahas tokoh yang dianggap berseberangan. Pada akun Joko Widodo, misalnya, isinya adalah upaya ganti presiden. Pada akun Prabowo pun sebaliknya, sebagian meninggalkan jejak digital "Jokowi dua periode". 

Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, sejatinya mereka tidak sedang berkompetisi. Hanya saja, bukan netizen kalau tidak berlaku nyinyir. Saat Gubernur Anies membangun jembatan penyeberangan, komentar yang muncul adalah "gubernur kami malah sibuk membuat gambar". Pun demikian, saat Gubernur Emil siuk revitalisasi sungai, tak pelak sindir berdatangan "Gubernur kami cukup tutup sungai pakai jaring". hehe.

Ajang pemilihan presiden tanpa komentar netizen mungkin juga sunyi. Ibarat pertandingan bola, mereka punya supporter di stadion. Jika penonton malah diam membisu, apa kata dunia? Saat striker nyaris mencetak gol, tidak ada teriak dukungan dan harapan. Begitu saat tim nyaris kebobolan, tak ada histeris kekuatiran. Pertandingan yang hambar, bukan?

Agaknya menjadi calon pejabat saat ini ada kriteria tambahan yang mesti dipenuhi seorang tokoh. Sebelum masuk ke kriteria umum, semacam mampu memimpin, berpihak pada rakyat, punya visi dan misi yang kuat dan lain sebagainya. Hal yang lebih utama adalah tidak baper terhadap komentar netizen. Hehe. Ini justru lebih penting.

Namun, apakah komentar nyinyir bin julid semacam itu yang diharapkan dari hangat 'pesta demokrasi' di negara sebesar Indonesia?

Saya tidak dapat bayangkan jika pada zaman kemerdekaan, negara kita sudah mempunyai media sosial. Maka Jepang akan dengan mudah memecah belah warga negara. Cukup dengan bikin tagar #dukungjepang2periode atau #akanmerdekapadawaktunya. Situasi membuktikan, perang tagar membuat netizen kita sangat gampang diadu domba. Selain itu, tokoh seperti Bung Karno dan Bung Hatta bersama anggota BPUPKI-PPKI yang berkonsentrasi dalam diplomasi dengan Jepang, tentu kesulitan juga melawan netizen. Bisa jadi mereka akan diadu dengan tokoh sekelas Tan Malaka misalnya. Haha. Ada-ada saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun