Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Kadhim Al-Jabbouri, Alexis, dan Robohnya Patung Saddam

12 November 2017   20:45 Diperbarui: 27 April 2022   17:12 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: newyorker.com

Dia lalu menghempaskan tubuh ke atas ranjang empuk di hotel tempatnya menginap di kawasan Kota, Jakarta Pusat. Tidak ada yang bisa dia kerjakan malam itu; di hari ke-3 kunjungan dinasnya di Jakarta sementara lusa dia sudah harus pulang lagi ke Abu Dhabi.

Kertas-kertas kerja berserakan begitu saja di atas meja, beberapa tercecer di sofa, dan satu-dua bundel dokumen terlihat tergeletak di lantai kamar yang dilapisi karpet motif bunga-bunga berwarna krem. Hanya laptop saja yang tetap menyala yang menjadi penanda berjam-jam akfititas tak menentu yang dilakukan Ahmed di kamar ini sejak sore tadi.

Masih terus terngiang di telinganya ucapan rekan kerjanya saat menerjemahkan kata-kata pimpinan kota ini tentang penutupan sebuah tempat prostitusi terkenal dari layar televisi.

"Kita justru menyelamatkan yang tak ternilai. Apa yang tak ternilai itu? Harga diri..."

Bisa-bisanya seorang pemimpin ibukota berbicara tentang harga diri untuk sebuah "perang" yang sesungguhnya takkan pernah selesai sampai kapan pun. Sebuah peperangan yang bahkan tak seorang pun pernah tahu sejak kapan dimulai atau kapan zaman kegelapan tertua yang menandai dimulainya bisnis prostitusi.

Kata-kata ini mengoyak luka lama di hati Ahmed; seperti membangunkan kembali kenangan menyakitkan yang takkan bisa terhapus dari memori otaknya seberapa pun besar usahanya untuk membunuh perasaan itu, baik dengan kebencian, dengan memelihara kepura-puraan, bahkan dengan sumpah yang dia ucapkan beberapa tahun setelah menikahi Selma Al-Ghiffary yang mengawali statusnya sebagai seorang warga negara baru, seseorang yang memiliki tanah air yang baru, yang disambutnya dengan begitu antusias penuh kegembiraan karena sebuah harapan besar ingin ia jejalkan ke alam bawah sadarnya, untuk membuang semua ingatan pilu tentang tanah leluhur, sebuah kota tempat ia dilahirkan, di Baghdad, Iraq.

Setelah sekian lama tetap tak mampu menenangkan diri, Ahmed kembali ke depan laptop lalu memutar kembali sebuah video di kanal youtube yang di-upload tanggal 5 Juli 2016 lalu. Sebuah video yang sebenarnya sudah puluhan kali ia tonton.

Dia tidak mengenal siapa Kadhim Al-Jabbouri secara pribadi, tapi ingatannya yang mulai samar bisa mengenali sosok Kadhim yang sedang mengayunkan palu besar untuk merobohkan sebuah patung, berulang kali, karena dia berada disana pada saat itu, ditengah kerumunan orang-orang yang mengelilingi Firdos Square di pusat kota Baghdad.

Sudah puluhan kali dia mendengar kata-kata yang sama yang diucapkan Kadhim.

"Sekarang, ketika aku mengingat kembali patung itu, aku merasa sakit dan malu. Aku lalu bertanya pada diri sendiri, mengapa aku merobohkan patung itu? Ingin rasanya kuletakkan lagi patung itu disana, dan membangunnya kembali."

Sekujur tubuh Ahmed selalu bereaksi dengan cara yang sama saat menyaksikan video tersebut; seperti ada kekuatan yang memacu aliran hormon-hormon hingga membuat dadanya terasa sesak dan keringat dingin mulai mengucur perlahan.

Tidak ada yang bisa dia lakukan ketika amarah itu mulai menggelegak kecuali kata-kata sarkastis yang ditujukan kepada Kadhim, sekedar untuk menghilangkan rasa bersalah yang terus bersarang dalam dirinya walaupun tak pernah berhasil.

"Dasar manusia bodoh!" begitu umpatnya selalu.

Ahmed sebenarnya bisa merasakan apa yang diungkapkan oleh Kadhim karena keluarganya juga merupakan korban rezim Saddam Hussein. Ayah dan 2 orang pamannya adalah orang-orang terdekat Ahmed yang dieksekusi oleh Saddam.

Namun, belakangan dia mulai menyadari bahwa framing yang digambarkan media barat tentang simbol runtuhnya patung Saddam Hussein di Firdos Square yang menandai jatuhnya kekuasaan Saddam di Iraq tidak seperti apa yang dia saksikan dengan mata kepala sendiri.

Sejarah memang dicatatkan oleh pemenang, dia tahu itu, bukan oleh para pecundang. Inilah ironi yang dirasakan Ahmed yang menjadikan tanah leluhurnya selalu hadir sebagai mimpi buruk yang terus menghantui kehidupannya.

Antara kebencian pada Saddam Hussein di satu sisi dan bayangan tentang sebuah negeri yang terus tercabik-cabik oleh konflik internal yang tak kunjung usai disisi lain, dimana pertikaian, pembunuhan, pengeboman, adalah pemandangan yang biasa terlihat sehari-hari di kota Baghdad.

Untuk satu hal, Ahmed setuju dengan Kadhim bahwa runtuhnya rezim Saddam Hussein telah melahirkan 1000 Saddam-Saddam baru di Iraq. Namun, Ahmed menolak untuk menyalahkan Amerika dan sekutunya atas kondisi ini.

Baginya, jika ada orang yang harus disalahkan dari apa yang terjadi di Iraq maka itu adalah rakyat Iraq sendiri. 

Jika Saddam adalah tirani yang menjadi musuh bagi rakyat Iraq maka "peperangan"untuk membebaskannya haruslah menjadi peperangan mereka, bukan perang yang diperjuangkan dan dimenangkan oleh negara lain lalu diberikan kepada mereka sebagai sebuah "hadiah".

Kesadaran yang tumbuh akibat kepedihan ini mulai berubah menjadi sebentuk kesewenang-wenangan, sebuah pendudukan, sebuah invasi, dimana dia dan rakyat Iraq harus menerimanya karena ketidakberdayaan, hingga akhirnya meniupkan ilusi yang mulai bersemayam dalam dirinya tentang hari-hari pembalasan.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa remaja Ahmed di kota Baghdad membuatnya tahu persis apa yang di maksud dengan "harga diri" sebagaimana yang diucapkan pemimpin kota disini.

Perjalanan sejarah sebuah bangsa akan selalu terrekam dan simbol-simbolnya akan menjadi penanda sejarah sebagaimana yang terjadi pada robohnya patung Saddam Hussein di Firdos Square 14 tahun yang lalu. Peristiwa itu akan jauh lebih kenang dibandingkan 1 bulan proses bombardir yang dilakukan AS dan sekutunya untuk menghancurkan rezim Saddam.

Sejarah akan memberi pelajaran pada generasi mendatang tentang nilai-nilai yang ditorehkan para pendahulu mereka yang bisa ditangkap dari simbol-simbol yang menandai perjuangan panjang sebuah bangsa secara terus-menerus, bukan berupa "hadiah kemenangan" yang diberikan pihak manapun dalam menghadapi "musuh" bangsa pada zamannya. 

Dari laptop yang sejak sore tadi terus menyala, Ahmed lalu membereskan tiket kepulangannya esok lusa sebelum kembali menenggalamkan diri dalam keheningan yang menyiksa di sebuah kamar hotel di kawasan kota, Jakarta Pusat.

Lampu-lampu yang menerangi Jakarta terlihat muram pada malam itu; semuram cahaya laptop yang masih menyisakan tampilan layar berupa laporan hasil pemesanan tiket penerbangan Jakarta-Abu Dhabi pada jam 23.00 menggunakan maskapai Emirates, lalu dilanjutkan lagi seminggu kemudian, menggunakan maskapai yang sama, sebuah penerbangan dari Abu Dhabi  menuju kota Baghdad, Iraq.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun