Setelah itu, pemuka agama yaitu pendeta akan membuka prosesi tersebut dengan doa. Orang yang menyarungkan baju mananol ke pengantin perempuan nantinya bukan orang sembarangan tetapi harus berasal dari istri Kepala Dati.Â
Baju yang dipakai disebut baju mananol, baju ini berwarna hitam dan berlengan panjang.
Seperti memperkenalkan para sanak saudara serta sebutan atau panggilan apa yang harus diberikan kepada orang-orang tersebut, misalnya siapa saja yang boleh di panggil Ua (bibi), siapa saja yang dipangil Wate (paman) dan mengenalkan konyadu-konyadu (ipar-ipar).Â
Setelah selesai, mempelai perempuan akan keluar bersama pengantin pria kemudian bertemu undangan di luar rumah. Nantinya, pengantin pria akan membagikan sopi dan pengantin perempuan akan membagikan sirih pinang kepada para orang tua dan undangan.
Untuk acara sarong baju sendiri, tidak bisa dilakukan sembarangan hari namun harus pada hari Jumat.Â
Alasannya, karena baju yang sudah dikenakan pengantin perempuan harus tetap dipakai dan tidak boleh dilepaskan selama tiga hari berturut-turut. Nah, pada hari ketika bertepatan dengan hari Minggu barulah baju tersebut dibuka.Â
Maka otomatis waktu lepas baju tersebut akan tepat pada hari Minggu bertepatan dengan waktu beribadah, agar nantinya kedua mempelai akan ke gereja untuk menunaikan puji dan syukur kepada Sang Pencipta.
Masyarakat Negeri Makariki meyakini bahwa tradisi sarong baju dilakukan bukanlah sekedar kegiatan seremonial semata.
Akan tetapi, di dalam terkandung makna serta nilai-nilai filosofi yang mempunyai fungsi sebagai pedoman bagi kedua mempelai. Setiap prosesi tahap demi tahap yang dilakukan dalam tradisi ini memiliki makna tersendiri.Â
Jika kita ulik lebih dalam misalnya makna dari antar atiting merupakan suatu perwujudan nilai tanggung jawab kegotongroyongan dalam kehidupan orang bersaudara yang selalu hidup harmonis merasakan suka duka satu sama yang lain secara bersama-sama dan saling menopang satu sama yang lain.