Mohon tunggu...
Hendra Purnama
Hendra Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman yang diakui negara

Penulis yang tidak idealis, hobi menyikat gigi dan bernapas, pendukung tim sepakbola gurem

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Dunia 2022: Siklus Kematian Sang Matador

7 Desember 2022   10:22 Diperbarui: 7 Desember 2022   12:26 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: sportingnews.com

Tidak percaya? Beginilah statistik Spanyol setelah partai melawan Costa Rica:

  • Melawan Jerman, 634 operan dengan akurasi 85% (Jerman hanya melakukan 344 operan dengan akurasi 78%), 65% penuguasaan bola (Jerman 35%), shot on target hanya 3, jumlah gol: 1
  • Melawan Jepang, 1058 operan dengan akurasi 91% (Jepang hanya melakukan 228 operan dengan akurasi 67%), 83% penguasaan bola (Jepang 17%), shot on target hanya 5, jumlah gol: 1
  • Melawan Maroko, 1019 operan dengan akurasi 90% (Maroko hanya melakukan 305 operan dengan akurasi 70%), 77% penguasaan bola (Maroko 23%), shot on target hanya 1, jumlah gol: 0

Jadi alih-alih mereka menjadi matador yang menantang kematian di ujung tanduk banteng, dan bermain indah untuk menaklukkan si banteng, tim Spanyol malah seolah jadi matador yang bingung mesti melakukan apa. Sepanjang pertandingan mereka hanya mengoper-mengoper dan mengoper. 1000 kali operan tidak ada gunanya jika tak ada gol tercipta.

Hingga akhirnya nasib pahit melanda. Tadi malam kesebelasan peringkat tujuh FIFA ini harus pulang lebih dulu setelah kalah adu penalti lawan Maroko, sebuah kesebelasan non unggulan asal Afrika yang hanya duduk di peringkat 22 FIFA.

Apakah masa Spanyol sudah habis? Bisa ya bisa tidak, namun kita mesti perhatikan bahwa sebenarnya kematian Spanyol tidaklah ditandai dari kekalahannya semalam, bahkan bukan ketika mereka kalah 1-2 dari Jepang. 

Sebenarnya kematian Spanyol sudah bisa dibayangkan sejak tahun 2016.

Sebelumnya kita kutip dulu omongan Franco Baresi, legenda AC Milan dan Italia. Bersama tim merah hitam itu, Baresi telah menjalani 532 pertandingan dan mempersembahkan macam-macam gelar bagi klubnya. Lalu bersama Italia, direngkuhnya Piala Dunia 1982. Baresi adalah pemain yang seolah ditakdirkan hidup dalam masa-masa emas. Debutnya di Piala Dunia saja langsung berbuah gelar. Lalu setahun setelah bermain untuk AC Milan, dia langsung bisa juara Serie A.

Meski nyaris selalu diliputi gilang-gemilangnya gelar, namun Baresi menyadari bahwa hal itu tidak akan abadi. "Setiap tim memiliki siklus, dan tugas setiap anggota tim adalah menahan sekuat tenaga agar siklus itu tidak segera berputar." Begitu katanya.

Senada dengan itu, di piala dunia kali ini kita mendengar keluhan yang sama dari Kevin de Bruyne. Pemain tengah Belgia itu mengeluhkan kondisi timnya sendiri. "Tidak mungkin," katanya ketika The Guardian bertanya kepadanya apakah Belgia bisa memenangkan Piala Dunia. "Kita terlalu tua. Peluang kami ada di tahun 2018. Kami memiliki tim yang bagus, tetapi sudah menua. Kami kehilangan beberapa pemain kunci. Kami memiliki beberapa pemain baru yang bagus, tetapi mereka tidak berada di level pemain lain di tahun 2018." Ujarnya.

Kabarnya, komentar de Bruyne ini bikin panas kamp pelatihan Belgia. Sampai dia, Eden Hazard dan Jan Vertonghen berkelahi hingga harus dipisah oleh Romelu Lukaku. Namun apapun itu, kita mesti akui de Bruyne mungkin benar. Dia sedang bicara tentang siklus. Puncak generasi emas Belgia adalah tahun 2018, tapi di saat itu pun mereka tidak bisa memenangkan apapun. Hanya sampai ke peringkat ketiga Piala Dunia 2018. Sekarang lihat saja, usia Mignolet, Alderweireld, Vertongen, Meunier, Witsel, Hazard, dan bahkan de Bruyne sendiri sudah di atas 30 tahun, belum tentu mereka bisa main di Piala Dunia 2026. Siklus Belgia sedang meluncur ke bawah, pemain-pemain itu sudah "terlalu tua" untuk menahan perputaran roda siklus nasib.

Itu terjadi juga pada Spanyol. Tim matador adalah bukti nyata siklus itu ada, bahkan lucunya perputaran roda siklus Spanyol itu terjadi begitu cepat. Kadang malah membingungkan. Seperti saat ini, orang masih bisa mengenang Spanyol sebagai juara dunia 2010 setelah memainkan sepak bola indah di final melawan Belanda. Jadi kenangan itu belum terlalu lama, masih sangat jelas. Tapi kenangan itu rusak karena di Qatar, mereka mesti menunduk malu setelah dilibas Jepang dan Maroko. 

Orang jadi gampang bertanya-tanya: Ada apa dengan Spanyol?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun