Apa yang sebenarnya terjadi belakangan ini kiranya adalah representasi suara-suara yang tidak tersampaikan. Mereka bersemayam dalam kritik tajam terhadap ketidakadilan. Walau kritik tajam itu kali ini meledak melalui musik perlawanan.
Sukatani Band, seolah menjadi "martir" dari lantangnya perlawanan para seniman jalanan. Mereka bukanlah musisi yang berasal dari panggung pencari bakat. Bahkan bukan pula berasal dari grup-grup konten kreator yang berorientasi profit.
Suara keresahan yang realistis menjadi sajian kritik yang disampaikan melalui lagu. Di mana sikap kritis merupakan salah satu karakter utama dari ideologi punk, seperti ungkap Widya G. dalam "Punk: Ideologi yang Disalahpahami".
Kita tentu mengenal karakter "kemerdekaan" pegiat punk yang penuh makna solidaritas, namun ekspresif. Walau, konsepsi tersebut kerap diartikan negatif hingga kini. Bahkan dianggap tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.
Punk, antara Solidaritas dan Perlawanan
Pada dasarnya, punk memang identik dengan semangat perlawanan terhadap realitas yang abnormal. Sari Kusuma dalam "Punk: Suara Kegelisahan Generasi", menjelaskan bahwa lirik perlawanan menjadi identitas penting sebuah grup band beraliran punk.
Selain dari kekuatan solidaritas yang dibangun sebagai pondasi ideologi punk. Dalam hal ini konteks sosial dan politik menjadi latar ide-ide perlawanan yang kemudian terealisasi dalam lirik-lirik kritisnya.
Jadi, punk band bukanlah identifikasi aliran musik pada umumnya. Dia berdiri bebas, seiring ketidakadilan yang tampak disekitarnya. Di mana konsep solidaritas dan perlawanan memang menjadi jati diri para penganutnya.
Widya G, bahkan memberi contoh beberapa band beraliran punk yang kritis dalam setiap lirik perlawanannya. Bahkan kehadirannya diidentifikasi telah ada sejak era The Ramones dan Sex Pistols merajai industri musik dunia.
Kritik Realitas adalah Identitas