Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tantangan Pendidikan Menuju Indonesia Emas

5 Februari 2025   01:15 Diperbarui: 5 Februari 2025   13:53 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapak baca anak di sudut Pasar Jaya/Induk, Kramat Jati, Jakarta Timur (sumber: dokpri)

Indonesia Emas 2045, bukanlah sekedar wacana yang mengemuka seiring adanya bonus demografis. Termasuk dengan hadirnya realitas global yang menjadi faktor penentu kebangkitan bangsa. Khususnya di era disrupsi saat ini, yang penuh tantangan dalam berbagai aspek kehidupan.

Kesadaran terhadap pentingnya bela negara tentu menjadi persoalan pelik kini. Minimnya budaya literasi dan numerasi anak bangsa, adalah diantara realitanya. Satu kesalahan besar bagi setiap lembaga pendidikan berbalut pembelajaran terstruktur maupun projektif. Dimana sikap kritis tak lagi mengarah pada konsep kemandirian bersama, namun justru lebih bersifat individualistik.

Seperti pada 3 poin berikut ini, dalam tantangan menuju Indonesia Emas;

1. Kasus Putus Sekolah

Tingginya angka putus sekolah per tahun 2024, kiranya dapat menjadi catatan penting bagi proyeksi pendidikan di masa datang. Bukan sekedar problematika sosial ekonomi sebagai latar belakangnya. Melainkan pula perihal orientasi masa depan yang makin menantang dan penuh dengan tuntutan zaman.

Persoalan ekonomi dalam konteks biaya pendidikan, kiranya sudah banyak tercover dengan beragam program bantuan pendidikan dari pemerintah. Namun, perilaku sosial dalam konteks kemandirian, justru berbanding terbalik dengan target pencapaian pendidikan. Ini adalah catatan penting bagi progresifitas pendidikan Indonesia saat ini.

Tercatat bahwa ada sekitar 4,6 juta anak putus sekolah sesuai data Kemendikbudristek (Agustus 2024). Dimana persentase tertingginya ada pada tingkat kejuruan (BPS/2024). Ini merupakan kritik terhadap implementasi kurikulum berorientasi kemandirian, tanpa ada ruang aplikatif secara realistis.

Seperti halnya ruang kerja yang sesuai dengan konsep kesadaran generasi muda. Agar lembaga pendidikan mampu meyakinkan para pelajar secara komprehensif, terkait pentingnya meraih ilmu pengetahuan secara aktual.

2. Krisis Kemandirian

Realita bahwa generasi muda saat ini tidak lagi mengedepankan pendidikan tentu berangkat dari berbagai masalah. Diantaranya ada pada lingkungan keluarga dan sekolah. Tak lain karena dua ruang tersebut saling terkoneksi dengan pendekatan edukasi yang biasanya tidak tersampaikan dengan baik.

Perilaku "peduli anak" ini kerap ditafsirkan secara bias oleh para orang tua maupun pendidik. Hingga aturan dan batasan pembelajaran di lingkungan sekolah menjadi tidak optimal. Hal ini biasanya dikarenakan berbagai kepentingan individu dalam mencapai tujuannya. Seperti dalam berbagai kasus yang marak belakangan ini di dalam dunia pendidikan.

"Seorang dokter coas dipukuli gara-gara jadwal jaga".

Dasar kemandirian ini menjadi penting, guna dipahami dan ditanamkan sedari dini. Tak lain bertujuan untuk menumbuhkan rasa kemandirian generasi muda dalam menghadapi berbagai tantangan global. Termasuk peran orang tua, dengan kesadaran penuh atas pendidikan yang positif bagi anak-anaknya.

Dalam aspek ini, dijelaskan bahwa institusi strategis tidak cukup hanya menanamkan kecerdasan iptek semata, karena kepribadian mandiri dan moralitas yang baik adalah kunci generasi tangguh (Musbikin, 2021:11).

3. Krisis Mentalitas

Era digital yang masif menyandera berbagai lini kehidupan, secara tidak langsung memberi dampak negatif bagi generasi muda. Tak lain karena terhambatnya ruang eksplorasi terhadap lingkungan sekitar. Sebuah kesadaran atas perilaku manusia yang terjebak dalam dunia digital secara langsung.

Krisis mentalitas ini menjadi faktor utama terjadinya krisis identitas kebangsaan. Tidak berani mengambil peran dan tindakan dalam berbagai peristiwa disekitarnya adalah contohnya. Namun, hal ini biasanya sangat berbeda dalam dunia digital, sebagai ruang unjuk jati diri tanpa bersentuhan langsung dengan lingkungannya.

Inilah yang menyebabkan generasi muda saat ini dianggap tidak pandai memahami keadaan. Walau tidak dapat dikatakan seluruhnya. Namun, catatan BPS per Agustus 2024 menyebutkan bahwa 7,4 juta generasi muda non-pekerja mayoritas ada pada lulusan kejuruan. Sebuah catatan penting yang tentunya harus menjadi perhatian bersama.

Dimana keberhasilan seseorang tergantung pada kemampuannya mengelola tekanan. Dalam hal ini pendidikan mental dapat menjadi aspek penting dalam pembelajaran. Tak lain guna membangun karakter agar dapat dilatih, dibimbing, dan diarahkan supaya dapat menjadi manusia seutuhnya (Munafisah, 2023:47-48).

...

Demikian 3 poin penting yang dapat dijelaskan, tentunya dalam upaya bangsa menuju Indonesia Emas. Tak lain demi rancang bangun ruang pendidikan agar dapat memfasilitasi generasi muda dengan baik. Termasuk melalui kebijakan kurikulum yang mengikat dan sesuai dengan tantangan di masa datang.

Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun