Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Interdepedensi Political Conflict

14 Agustus 2023   05:30 Diperbarui: 14 Agustus 2023   06:18 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konflik (sumber: freepik via kompas.com)

Konflik politik (political conflict) merupakan hal yang wajar terjadi. Khususnya dalam paradigma politik praktis sesuai dengan porsi pragmatisnya secara politis. Sebuah hal yang menjadi klimaks dari demokratisasi itu sendiri.

Perspektif interdepedensi sendiri adalah dimana posisi saling membutuhkan antar pihak. Pandangan yang mengemuka lantaran aturan threshold jadi syarat utama pemilu. Partai-partai yang ada, kiranya harus membangun koalisi interdepedensi yang realistis.

Bukan sekedar memberi realita konflik yang dapat memantik dinamika sosial. Dimana salah satunya adalah gap politik antar sesama pendukung ataupun antar simpatisan kader partai. Lainnya adalah posisi saling bersaing dalam meraih dukungan publik.

Pemantiknya tak lain adalah kebutuhan dalam interdepedensi yang terwujud melalui laku mutualisme partisan politik. Baik dalam locus masyarakat atau secara kelembagaan yang terorganisir. Dengan berbagai strategi kampanye tiap partai yang berkompetisi.

Jadi dapat dikemukakan bahwa, teori konflik yang mengemuka tak lain berangkat pada orientasi saling membutuhkan, satu dan lainnya. Kiranya friksi politik serupa ini dapat dikaji melalui teori Max Webber dalam paradigma social conflict demi status kuasa.

Perbedaan nilai, status, dan kehormatan, menjadi identitas penting dan harus diperjuangkan. Bahkan dapat memberi pengaruh kuasa atas legitimasi umum dalam pola kepemimpinan. Namun, kesadaran atas dukungan menjadi penting kala membangun relasi kuasa.

Hal inilah yang menurut Marx direpresentasikan sebagai nilai materialisme. Tujuan meraih status selalu dimulai dari konflik sosial dengan muara pragmatisme. Relasi politik yang terbangun pun pada akhirnya akan bermutual menjadi suatu kesatuan lingkar kuasa.

Dapat kita lihat, bagaimana pada pemilu lalu (2019) ruang konflik sangat terbuka lebar. Namun dengan adanya relasi kuasa antar faksi, nuansa konflik pun mereda seiring realitas politik yang berkembang. Ini kunci interdepedensi yang dapat dilihat secara positif.

Pada awalnya, konflik antar faksi atau kelompok mengemuka dengan tujuannya masing-masing. Dalam konsep pertentangan yang berupaya saling meraih animo publik melalui suara konstituen. Konteksnya tak lain demi mendulang suara sebanyak mungkin.

Dari berbagai kemungkinan yang terjadi atas konflik yang tampak menjadi proses demokratisasi. Sebagai acuannya memang posisi pro dan kontra adalah sebuah keniscayaan pada konsep negara demokrasi. Lantaran check and balance adalah hak absolut bagi warga.

Bukan sekedar menjadikan ruang oposisi sebagai common enemy yang dilabeli sebagai pengganggu stabilitas pemerintah. Atau dianggap sebagai efek dari konflik politik tak berkesudahan. Antara pro ataupun kontra, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan.

Pun demikian posisi pro ataupun kontra secara interdepedensi yang saling mutualistik dalam demokrasi. Mereka terdiri dari kesatuan rupa yang proyektif namun beda konteks. Tanpa adanya sekat pentutup untuk sewaktu-waktu dapat berkoalisi menjadi satu.

Inilah uniknya, seteru bisa berubah menjadi relasi, pun sebaliknya, relasi bisa berubah menjadi seteru. Realitas politik yang hitam putih, tanpa dapat diprediksi secara naratif dalam ruang terbuka. Dengan mengedepankan kepentingan politik tentunya.

Jadi dapat dipahami, bahwa hitam putihnya politik, tidak tentu menjadi hal yang absolut. Bahkan memberi pandangan secara luas, dalam penilaian publik secara general. Perspektif publik sedianya menjadi area private yang patut diberi ruang untuk berpandangan.

Karena sifat politik yang tidak dapat diprediksi secara kalkulatif dan konsisten. Demi edukasi demokratisasi yang dapat dipersepsikan melalui berbagai analisis politik. Agar tercapai hak-hak sosial-politik setiap warga negara secara demokratis.

Semoga dapat menjadi abstraksi dalam kita memberi nilai sosial sesuasi realitas politik saat ini. Salam damai, dan terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun