Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemberontakan PKI Madiun September 1948

17 September 2022   05:30 Diperbarui: 19 Maret 2023   14:40 6373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Ilustrasi penangkapan ulama oleh PKI

Usai kekalahan di Surakarta pada 17 September 1948, para pasukan FDR/PKI melakukan aksi undur diri menuju ke Madiun. Mereka memilih memperkuat Madiun karena banyak pasukan pendukung yang sudah "menguasai" kota tersebut sejak awal bulan September. Berikut dengan pasukan dari divisi Panembahan Senopati dan pasukan dari laskar Pesindo.

Unsur-unsur komunis sudah beberapa kali menimbulkan gejolak sosial di Madiun dan wilayah sekitarnya. Terutama di Magetan, yang menjadi area "pembantaian" terhadap orang-orang yang pro Pemerintah. Selain itu pula terhadap para ulama dan santri, yang kerap mendapatkan aksi-aksi kekerasan dari pihak komunis.

Bukan sekedar aksi kekerasan melainkan sudah sampai tahap "pembersihan", atau target pembunuhan. Hal itu dilakukan oleh FDR/PKI lantaran perbedaan ideologi yang menjadi simbol perlawanan dari kaum santri. Sebenarnya sejak tanggal 16 September desa-desa di sekitar Madiun telah "diambil alih" oleh kelompok komunis, seperti ungkap Soe Hok Gie.

Walaupun suasana kota Surakarta dapat dikatakan belum sepenuhnya pulih. Mereka (komunis) seolah tengah membuka front baru untuk menghadapi pasukan Pemerintah. Seluruh perangkat desa di Madiun pun telah diganti oleh orang-orang yang pro komunis. Tentunya dengan cara kekerasan hingga pembunuhan. Terlebih kepada aparat yang dianggap anti komunis, auto di dor!

Bahkan Soe Hok Gie menjelaskan "pembersihan" yang dilakukan oleh kaum komunis telah melampaui batas kemanusiaan, dan menimbulkan reaksi yang menjijikkan. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa Takeran di Magetan.

Mungkin kita lupa dengan adanya peristiwa yang memakan ratusan korban masyarakat yang tidak bersalah. Apalagi mereka "dihabisi" atas dasar perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tepatnya di hari Jumat, tanggal 17 September 1948, para pemuka agama dan alim ulama ditangkapi dengan maksud dihabisi.

Korban pemberontakan PKI Madiun (Wikipedia)
Korban pemberontakan PKI Madiun (Wikipedia)

Mereka diantaranya ada adalah Kyai Imam Mursyid, Kyai Moh Noor, Kyai Nurun dan lain-lain dari Pondok Pesantren Takeran, serta beberapa pemuka agama dari Pesantren Burikan. Begitupula para Kyai dari Pesantren Sewulan, Selo Puro dan Mojopurno di Madiun, tak luput dari aksi "pembersihan" dan pembunuhan.

Beberapa diantaranya ditarik paksa keluar pondok dengan cara diseret dengan kendaraan. Diantara para pimpinan PKI yang terlibat langsung pada peristiwa tersebut adalah Soemarsono, yang merupakan "tangan kanan" Musso. Bersama Musso, ia mengendalikan seluruh kekuatan bersenjata FDR/Pesindo/PKI dari Pabrik Gula Rejoagung, Madiun.

Banjir darah tidak dapat dielakkan di kalangan masyarakat. Usaha mempertahankan Madiun oleh unsur-unsur Republik juga menemui kegagalan. Terhitung ada sekitar tujuh lubang pembantaian yang tersebar di Madiun dan sekitarnya. Rata-rata korban ditimbun menjadi satu dalam sebuah sumur tua. Dengan ragam luka bekas penyiksaan selama proses "pembersihan" tersebut.

Baik di Soco I dan II, Dijenan, Cigrok, Kenongo Mulyo, Pojok, Batokan, Bogem, semua adalah lokasi-lokasi pembantaian yang terjadi pada masa itu.

Begitupula dalam peristiwa di Pabrik Gula Gorang Gareng, Magetan. Sekitar 45 tawanan dari masyarakat, santri, aparat, dan pejabat lokal, dijejalkan dalam satu ruangan kecil di sudut bangunan pabrik. Semuanya lantas ditembaki dari luar ruangan, hingga banyak diantara para tawanan menjadi korban. Kabarnya, genangan darah dari ruangan tersebut tingginya hingga semata kaki.

Berikut dengan para korban lainnya, yang tersebar di berbagai lokasi berbeda. Gerbong maut "kertapati", yang dipergunakan untuk mengankut tawanan, seolah manjadi gerbong maut yang kiranya dianggap sebagai penjemput nyawa. Kekerasan fisik dan aksi-aksi perampokan pun tak luput dari sikap mereka sebagai intimidasi terhadap masyarakat.

Gerbong
Gerbong "Kertapati" (Wikipedia)

Bahkan diantara para lawan politik PKI diperlakukan layaknya "hewan" ketika ditangkap, seperti kisah Gubernur Suryo. Beliau bersama pengawalnya, ditangkap dan dihabisi dengan cara "ditelanjangi" sebelum di eksekusi. Hal ini serupa dengan aksi kekerasan yang dilakukan PKI terhadap polisi militer Republik yang kala itu telah "ditaklukkan" oleh komunis. semua dibantai.

Tak terkecuali penduduk desa dan anak-anak, yang diintimidasi dengan menebar teror psikologis agar tidak berani melawan. "Mereka menenteng (maaf) kepala korban yang dianggap sebagai lawan sambil mengelilingi desa", ungkap seorang sumber yang pernah penulis wawancarai di Madiun beberapa tahun silam.

Aksi-aksi brutal inilah yang kelak menimbulkan reaksi pembalasan pada hari-hari berikutnya. Apalagi Pemerintah telah bersikap tegas untuk memberikan pukulan secara menyeluruh terhadap aksi Pemerintah Front Nasional yang dibentuk Musso dan Amir Syariffudin di Madiun ini.

Apalagi sejak tanggal 18 September, pasukan Siliwangi beserta para laskar pro Pemerintah telah memasuki Madiun dari berbagai penjuru. Tentu saja, sebagai upaya pembebasan Madiun dari teror dan aksi pemberontakan PKI. Dimana pada akhirnya pasukan PKI dapat dicerai-beraikan dengan ending Musso dan Amir Syarifuddin kedapatan berbeda tujuan.

Maka, sekiranya kita sudah sepatutnya dapat terus mengingat peristiwa kelam yang terjadi pada masa lalu. Tentunya agar hal serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari, walau dengan cara yang berbeda. Sekiranya penulis pun sampaikan permohonan maaf bila tidak merinci nama seluruh korban kekejaman PKI di tahun 1948.

Semoga kisah ini dapat menjadi pegangan untuk kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun