"Lebih baik diatom dari pada merdeka kurang dari 100 persen!", seperti itu kira-kira ucapan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman tatkala mengikuti kongres Persatuan Perjuangan. Kongres yang melibatkan sekitar 141 organisasi baik dari laskar pejuang, milisi, atau TNI reguler ini sejatinya adalah bentuk gugatan untuk strategi diplomasi pemerintah kala itu.
Kebijaka diplomasi ini tak lain adalah hasil dari perundingan yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dengan pejabat Belanda sejak akhir tahun 1945. Upaya penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Belanda yang diharapkan dapat terselenggara melalui perundingan justru membuat para pejuang meradang.
Sejak clash 10 November 1945, tekad para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan darah di medan tempur, menjadi ketetapan yang tidak dapat digugat. Hal ini didukung sepenuhnya oleh kelompok militer, dibawah Jenderal Soedirman, dengan sikap tegas berjuang dengan mengangkat senjatanya.
Senada dengan Bung Tomo, BPRI yang kala pertempuran Surabaya menjadi aktor penting pun berada dibarisan Soedirman. Tak lain dan bukan adalah sosok Tan Malaka, seorang tokoh yang berada dibalik pendirian organisasi bernama Persatuan Perjuangan. Usahanya dalam mengorganisasi kelompok pejuang faktanya mendapatkan respon yang positif dikalangan para pejuang bersenjata.
Ada moment yang membuat Tan Malaka kecewa dengan agenda diplomasi ini. Upaya-upaya Sekutu yang dibonceng Belanda dalam aksi-aksi polisionilnya membuat jengkel para pejuang di garis depan. Selain dari persoalan politis antara Tan Malaka dengan Soekarno, yang kala itu tengah "agak" berseberangan.
Beredar pula kabar bahwa Tan Malaka menginginkan posisi di tampuk pemerintahan, walau hal ini diragukan keabsahannya. Walau dalam beberapa literasi menyinggung mengenai duduk perkara persoalan ini.
Hal tersebut tidaklah menjadi persoalan bagi para pimpinan bersenjata, yang dapat dikatakan sudah muak dengan berbagai aksi sepihak dari para tentara Sekutu, khususnya Belanda. Upaya perundingan harus terus diimbangi dengan pertempuran, yang akhirnya membuat Persatuan Perjuangan berdiri sebagai barisan oposisi pemerintah.
Sekedar informasi, walaupun pada akhirnya para tokoh dari Persatuan Perjuangan ini berakhir di meja pengadilan, tetapi hal itu tidak berlaku bagi Soedirman dan Bung Tomo, atau pimpinan laskar lainnya. Keputusan penangkapan hanya ditujukan kepada Tan Malaka beserta pengikut intinya, seperti Jenderal Darsono pasca peristiwa 3 Juli 1946.
Minimum Program Persatuan Perjuangan yang mengedepankan perjuangan bersenjata, tetap menjadi prioritas utama dalam menunjukkan eksistensi para pejuang. Tidak sekedar berjuang di balik meja perundingan, berbagai aksi militer Belanda dalam bentuk agresinya, pun pada akhirnya terus diimbangi dengan perlawanan bersenjata.