Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Setiap Orang Berhak Berpendapat

24 Februari 2015   23:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pertanyaan kritis, dapatkah kita menilai putusan pengadilan? Penilaian itu kemudian berwujud pernyataan pendapat baik lisan maupun tulisan. Baik pendapat yang menerima atau menolak putusan pengadilan. Menilai putusan pengadilan baik, buruk, hebat atau sesat.

Menyatakan pendapat adalah hak setiap orang yang dijamin oleh konstitusi. Opini dan pendapat baik lisan maupun tulisan yang beredar belakangan ini atas putusan praperadilan yang dibacakan oleh hakim Sarpin adalah wujud dari hak setiap orang yang dijamin oleh konstitusi.

Tidak ada satu orangpun di negri ini dapat melarang orang lain untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Jadi kalau saya mengatakan bahwa putusan praperadilan itu sesat, adalah hak saya menyatakan pendapat. Tidak bisa orang lain melarang saya untuk tidak menggunakan hak yang sudah dijamin oleh konstitusi itu. Oleh karena itu, penolakan atas putusan praperadilan yang baru saja berlangsung tersebut harus dilihat dari penggunaan hak menyatakan pendapat setiap orang.

Lalu bagaimana dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka? Ketentuan norma konstitusi ini mensiratkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak dapat dipengaruhi dari campur tangan pihak lain. Dalam konteks persidangan, keyakinan dan keputusan hakim tidak boleh diintervensi. Ringkasnya, sebelum hakim menjatuhkan pilihan tidak boleh ada pihak lain yang mencampurinya. Bukan hanya dalam bentuk pernyataan lisan atau tulisan tetapi juga tindakan. Ini bisa dikatagorikan contempt of court. Hakim harus terbebas dan merdeka dalam mengambilkeputusan.

Namun usai hakim membacakan putusan, katagoricontempt of courtsudah tidak berlaku lagi. Karena putusan sudah berpindah dari kemerdekaan hakim menjadi milik publik. Menjadi hak setiap orang untuk menilai putusan tersebut. Baik menolak atau menerima. Karena opini publik tidak mempengaruhi apapun atas putusan. Putusan tersebut tetap dinyatakan sah dan mengikat. Opini publik tidak dapat membatalkan putusan tersebut.

Pernyataan pendapat dan penilaian bisa dilakukan dengan cara resmi melalui forum eksaminasi publik atau anotasi hukum. Sekeras apapun isi dari eksaminasi dan anotasi itu, tidak bisa membatalkan putusan pengadilan. Putusan pengadilan hanya dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi kedudukannya.

Pertanyaan lainnya, apakah putusan tersebut wajib dihormati, seperti himbauan banyak pihak? Menghormati putusan pengadilan tidak ada relevansinya dengan hak menyatakan pendapat. Dihormati atau tidak putusan itu, tetap saja putusan tersebut harus dieksekusi. Pihak yang wajib menghormati putusan pengadilan hanya pihak-pihak berperkara dan pihak yang terkait.

Diluar pihak-pihak ini, tidak ada relevansinya untuk hormat atau tidak hormat atas putusan pengadilan. Misalnya putusan pengadilan yang menyatakan Prita Mulyasari bersalah. Hanya Prita dan negara (kejaksaan) serta pihak yang terkait (rumah sakit) yang wajib menghormati putusan tersebut. Di luar itu, masyarakat pengumpul koin sebagai wujud penolakan atas putusan tersebut tidak ada relevansinya hormat atau tidak hormat. Kecuali ada pihak-pihak yang menghalangi eksekusi atas putuan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sanksi pidana bisa dijatuhkan.

Himbauan untuk menghormati putusan praperadilan (Hakim Sarpin), dan meminta masyarakat untuk menghentikan hujatan adalah pikiran yang naif. Seolah-olah di negeri ini hanya ada satu putusan pengadilan saja. Faktanya, begitu ada putusan pengadilan selalu memunculkan pendapat pro dan kontra. Bahkan ahli-ahli hukum sering memberi pendapat, bahwa putusan itu sesat. Entah putusan pengadilan negeri, putusan PTUN, putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan badan peradilan lainnya. Termasuk tanggapan dan pendapat para keluarga korban tindak pidana yang menyatakan putusan pengadilan tidak adil. Merasa putusan itu tidak berpihak pada korban dan ujungnya menghujat putusan.

Menyatakan pendapat adalah bagian dari kontrol masyarakat pada penyelenggara negara termasuk di dalamnya lembaga yudikatif. Kebijakan dan keputusan yang diambil tidak bisa dilepaskan dari kontrol masyarakat. Hakim memiliki kewenangan seperti juga pejabat negara lain. Kewenangan itu bisa disalahgunakan dengan semena-mena. Kontrol masyrakat lewat menyatakan pendapat adalah bagian untuk mengoreksi penggunaan wewenang tersebut.

Apakah hakim Sarpin boleh dihina? Bukan saja hakim, semua orang tidak boleh dihina. Tindakan itu akan merendahkan harkat dan martabat seseorang. Tetapi, kembali lagi pada yang bersangkutan apakah dia merasa dihina atau tidak. Jika iya, dia bisa menggunakan haknya untuk menuntut pihak yang menghina. Maksud saya, prilaku menghina ini berlaku pada semua orang tidak hanya pada hakim Sarpin. Menjadi kontradiksi, kita dilarang menghina hakim Sarpin, tapi orang bebas menghina Presiden Jokowi.Bukankah kedua pejabat ini juga manusia yang harus diperlakukan secara adil. Himbauan untuk tidak menghina hakim Sarpin, seharusnya juga ditujukan pada semua orang.

Adil sejak dalam pikiran mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Dalam peristiwa pasca putusan praperadilan dini, saya menemukan kontradiksi dimana adil sejak dalam pikiran tak tergambarkan.

Menyatakan adanya kesewenang-wenangan KPK dalam penetapan tersangka, tapi abai untuk melihat adanya indikasi kesewenang-wenangan hakim Sarpin dalam memutus perkara. Menyatakan melindungi hak tersangka, tetapi abai untuk juga memperhatikan hak korban dalam perbuatan pidana yang dilakukan. Menyatakan tersangka korupsi punya hak yang harus dilindungi dan menerapkan asas praduga tidak bersalah tapi acuh pada tersangka pencuri hape yang mati terkapar di pasar atau di tahanan Polsek. Mengajak berempati untuk merasakan betapa sedihnya menjadi tersangka tetapi melupakan untuk juga berempati untuk merasakan betapa pedihnya menjadi korban dan keluarga korban.

Kesimpulannya: menilai putusan praperadilan hakim Sarpin adalah hak semua orang dalam menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Baik pendapat yang menerima atau menolak. Menyatakan putusan itu hebat atau sesat, adalah hak semua orang untuk menilainya. Pendapat yang dinyatakan oleh seorang profesor atau tukang ojek, bernilai sama dalam hak menyatakan pendapat. Pendapat itu tidak dapat membatalkan putusan tersebut. Pendapat baru punya nilai hukum jika menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Melalui keterangan saksi atau ahli yang dihadirkan di muka pengadilan. Jangan sampai terjadi lagi masa gelap Indonesia dimana ada upaya pembungkaman atas hak menyatakan pendapat.

Salam Kompasiana.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun