Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Berbasis Otonomi Daerah

11 September 2014   19:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelombang protes semakin menunjukan tensinya. Elemen masyarakat dari seluruh lapisan membanjiri media sosial. Tidak kurang dari lima petisi dengan isi yang sama ikut meramaikan aksi protes warga. Hingga hari ini telah terhimpun lebih dari 12 ribu warga ikut menandatangani petisi. Lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berada dalam barisan warga yang turut melakukan protes. Dan yang mengejutkan para kepala daerah yang berada dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) juga menandaskan sikap politik serupa. Kesemua protes itu ditujukan kepada DPR RI yang saat ini sedang membahas RUU Pilkada.

Jika anggota DPR tetap menutup telinga akan maraknya aksi protes masyarakat, maka sebaik apapun undang-undang yang dihasilkan akan kehilangan legitimasinya. Bahkan tidak mungkin, undang-undang ini akan jadi pajangan, dan tidak akan dilaksanakan. Indikasi sudah nampak, dengan sikap yang ditujukan pengurus partai Demokrat dan partai Gerindra Jawa Barat yang menolak usulan RUU Pilkada. Hal ini sebagai penanda, aspirasi dan kepentingan daerah tidak sejalan dengan kepentingan para politisi di tingkat pusat. Sedangkan pelaksanaan undang-undang ini akan diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing.

Satu hal yang terlupakan baik oleh pemerintah pusat maupun DPR saat ini adalah menegasikan kepentingan pemerintah daerah sebagai daerah yang otonom. Amanah reformasi yang tertuang dalam amandemen UUD 1945, beusaha untuk dibongkar demi penumpukan kekuasaan terpusat. Pengaturan yang bersifat prinsip dan fundamental akan otonomi pemerintah daerah ingin diintervensi kembali oleh pemerintah pusat. Dan untuk menegaskan semangat otonomi daerah, saya memberi usulan perubahan atas RUU Pilkada.

UU POKOK PILKADA

Undang-undang ini hanya mengatur asas, prinsip, dan opsi atau mekanisme penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Berbeda dengan rumusan RUU Pilkada saat ini yang hanya memberi satu opsi mekanisme pemilihan kepala daerah. Apakah langsung oleh rakyat atau lewat DPRD. Kedua opsi ini memiliki kelemahan yuridis sebagai dasar hukumnya. Pemilihan langsung oleh rakyat diasumsikan sebagai Pemilu. Padahal UUD 1945, tidak memasukan pemilihan kepala daerah sebagai rezim Pemilu (Pasal 22E ayat (2). Sedangkan pemilihan lewat DPRD tidak ada dasar hukum pemberian kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala Daerah (UU 17 tahun 2004 Bab V dan Bab VI). Lebih daripada itu, kedua opsi ini, menafikan mekanisme pemilihan kepala daerah pada daerah khusus dan istimewa. Sebagaimana amanat konstitusi pasal 18B.

Beranjak kepada masalah tersebut, tiga opsi ini menjadi bagian dari ketentuan dari undang-undang pokok Pilkada. Pemerintah pusat tidak dapat memaksakan daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara seragam dan bersifat nasional. Terlebih memaksakan hanya pada pilihan satu opsi. Penyeragaman bersifat nasional akan meluluhlantahkan format otonomi daerah yang sudah ditentukan dalam Pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945.

Dalam pengelolaan pemerintahan daerah yang bersifat otonom, segala proses penyelenggaraan diserahkan kepada daerah termasuk kebijakan elektoral yang akan dipilih. Apakah akan memilih opsi langsung oleh rakyat, lewat DPRD, ditunjuk oleh DPRD, menggunakan sistem noken adalah wewenang pemerintah daerah (dalam hal ini Kepala daerah bersama dan DPRD) yang akan memutuskannya.

Aturan teknis penyelenggaraan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) dengan merujuk kepada UU Pokok Pilkada ini. Dengan demikian, tahap desentralisasi kita sudah semakin maju. Dari tahap desentralisasi administrasi (Orde Baru), masuk ke desentralisasi politik (zaman Reformasi), dan kini desentralisasi hukum. Dengan memberi ruang aturan hukum bernama Perda yang memiliki muatan lebih politis.

Sebagaimana konsep desentralisasi yang kita jalankan saat ini, ada dua tingkatan yang berbeda. Otonomi daerah dengan sistem desentralisasi berlaku pada unit dasar bernama Kabupaten/ Kota. Sedangkan Provinsi disebut dengan Unit Antara, tugas perbantuan atau dekosentrasi. Sehingga posisi Gubernur dengan Bupati/Walikota tidak dalam posisi sama dalam konteks otonomi daerah. Gubernur tidak lain adalah wakil Pemerintah yang berada di daerah. Dalam ketentuannya Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden. Oleh karena itu, rekruitmen Gubernur diangkat oleh Presiden sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah.

Dengan demikian mekanisme pemilihan kepala daerah dalam UU Pokok Pilkada, berbeda antara Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan Bupati/Walikota sebagai kepala pemerintahan yang bersifat otonom. Meskipun Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat Gubernur, namun harus memperhatikan aspirasi, dan sifat keistimewaan suatu daerah seperti Daerah Istimewa Yogyakarta. Termasuk pada daerah-daerah yang memiliki rawan politik dan tingkat instabilitas tinggi.

Badan penyelenggara pemilihan kepala daerah diatur oleh Perda masing-masing. Jika pemilihan lewat DPRD maka ada aturan dalam Perda yang menegaskan kewenangan tersebut. Demikian juga jika melalui suatu badan khusus penyelenggara, Perda harus memberi kewenangan tersebut. Penamaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa saja diintrodusir sebagai nama badan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Tapi, sifat badan ini tidak sama dengan sifat KPU yang termaktub dalam pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Badan ini tidak bersifat nasional. Dan juga tidak bersifat tetap. Artinya suatu badan ad hoc hanya sebatas (waktu) penyelenggaran Pilkada saja. Bila beban anggaran dilimpahkan kepada APBD, maka biaya kepada badan yang bersifat ad hoc ini tidak menguras anggaran dibandingkan dengan badan yang bersifat tetap dalam rentang waktu (periode) 5 tahun.

UU Pokok ini juga mengatur mekanisme sengketa dan sanksi hukum atas pelanggaran pada prinsip Luber dan Jurdil. Dalam sistem desentralisasi yang sudah disepakati bersama, urusan peradilan dan penegakan hukum tetap menjadi domain pemerintah pusat yang mengaturnya.

Singkat kata, mekanisme pemilihan kepala daerah diserahkan kepada daerah otonom masing-masing. Sekian proposal saya ajukan.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun