Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kritik kepada Mahfud MD

18 September 2014   20:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:19 4423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411021235295954395

[caption id="attachment_324393" align="aligncenter" width="518" caption="sumber: www.suaranews.com"][/caption]

Pada kesempatan ini, saya ingin mengajukan kritik kepada Bapak Prof.Dr. Moh. Mahfud MD (selanjutnya disingkat Mahfud). Sebelumnya saya mohon maaf jika sebagai murid telah lancang melakukan kritik terhadap guru saya sendiri.

Dalam akun twitter, Bapak Mahfud (@mohmahfudmd) membuat kicauan yang pada pokoknya menyatakan bahwa alasan Bung Karno mencabut UU No.1 tahun 1957 karena undang-undang tersebut tak sesuai dengan demokrasi asli Indonesia. Dilanjutkan Bung karno mencabut UU tersebut dengan Penpres No. 1 tahun 1959.

Kicauan ini kemudian dijadikan bahan pemberitaan dari media online antara lain: intriknews (sumber), forum detik (sumber), situsberita2terbaru (sumber), dan suaranews (sumber). Sampai hari ini (18 September 2014), tidak ada klarifikasi atau penggunaan hak jawab Bapak Mahfud baik atas kicauan di akun twitter maupun di media online. Apakah cuplikan kicauan tersebut diplintir atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dinyatakan. Oleh karena itu, saya berasumsi pernyataan atau kicauan tersebut benar sebagaimana adanya.

Kritik saya pertama. Bung Karno atau Presiden Soekarno tidak pernah mencabut UU No.1 tahun 1957 berdasarkan Penpres No.1 tahun 1959. Peraturan Presiden No. 1 tahun 1959 berisi tentang Pembentukan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara. Baik dalam konsideran, Batang tubuh Bab IV Ketentuan lain dan penjelasan tidak menyinggung sama sekali UU No.1 tahun 1957. Penpres No.1 tahun 1959 diundangkan pada tanggal 27 Juli 1959. Secara keseluruhan mengatur tentang Bapekan (Badan Pengawas Aparatur Negara).

Bila yang dimaksud oleh Bapak Mahfud MD, Penpres yang berkaitan dengan UU No.1 tahun 1957, ada di dalam Penpres No. 6 tahun 1959. Bukan Penpres No. 1 tahun 1959. Saya bisa memahami jika penyebutan peraturan perundang-undangan (termasuk Peraturan Presiden di dalamya) dinyatakan oleh kalangan awam. Namun, agak janggal jika keliru penyebutan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh seorang guru besar hukum tata negara. Karena pernyataan seorang guru besar hukum akan menjadi rujukan bagi kalangan awam. Keliru -- saya mengatakan keliru bukan salah-- dalam penyebutan aturan hukum akan berakibat terjadinya disinformasi dan penyesatan. Saya sarankan agar Bapak Mahfud, merevisi pernyatanya berkaitan dengan penyebutan Peraturan Presiden yang dimaksud.

Peraturan Presiden No. 6 tahun 1959 tanggal 7 September 1959 menetapkan tentang Pemerintah Daerah. Sebagaimana UU No.1 tahun 1957 yang mengatur tentang hal yan sama. Namun, sebagaimana laiknya revisi, perubahan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan saat ini, format formal berbeda dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1959. Dalam format formal Konsideran bagian menimbang akan ditulis " undang-undang yang dimaksud sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan politik dan ketatanegaraan". Suatu kalimat yang mengisyaratkan bahwa UU sebelumnya dicabut. Dan ditambahkan di batang tubuh Bab Ketentuan Penutup yang secara eksplisit menyatakan bahwa UU terdahulu dinyatakan tidak berlaku.

Namun tidak demikian halnya dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1959. Di bagian konsideran (menimbang) tidak dinyatakan bahwa UU No.1 tahun 1957 sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan politik dan ketatanegaraan. Dan di Bab Ketentuan Penutup (vide pasal 21) tertulis: "Penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang urusan rumah- tangga daerah (otonomi) dan tugas pembantuan dalam pemerintahan tetap dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1957, kecuali apabila bertentangan dengan sesuatu ketentuan dalam Penetapan Presiden ini". Sangat berbeda maknanya dengan rumusan kalimat "UU No. 1 tahun 1957 dinyatakan tidak berlaku". Bahkan secara jelas menyatakan beberapa bagian dari UU No.1 tahun 1957 "tetap dilakukan".

Kritik saya kedua. Bagaimana Bapak Mahfud berkesimpulan bahwa UU No.1 tahun 1957 dicabut oleh Peraturan Presiden No.6 tahun 1959?. Rangkaian kalimat baik dalam konsideran bagian mengingat dan Bab Ketentuan Penutup dalam UU tersebut, tidak menyatakan "tidak berlaku atau tidak sesuai". Yang mengisyaratkan adanya pencabutan. Jika tafsir otentik atas Penpres No. 6 tahun 1959 bisa diartikan mencabut seluruhnya, itupun tak sepenuhnya benar. Mengingat pasal 21 Penpres No.6 tahun 1959 tertuang kalimat "tetap dilakukan". Meskipun hanya sebagian.

Kritik saya ketiga. Bapak Mahfud mengatakan bahwa alasan pencabutan oleh Bung Karno karena UU No.1 tahun 1957, tak sesuai dengan demokrasi asli Indonesia. Alasan mendasar Bung Karno bila diasumsikan "mencabut" UU No.1 tahun 1957 untuk kembali kepada UUD 1945. Setelah Dekrit Presiden dikumandangkan tanggal 5 Juli 1959. Dan berdasarkan pasal 18 (belum diamandemen) UUD 1945. Tidak ada kalimat Bung Karno baik tersurat maupun tersirat atas alasan "tak sesuai dengan demokrasi asli Indonesia".Kembali Bapak Mahfud sebagai guru besar hukum tata negara melakukan disinformasi. Seharusnya Bapak Mahfud menyatakan fakta sejarah yang sesungguhnya bahwa UU No.1 tahun 1957 "dicabut" sebagai konsekwensi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.

Untuk diketahui UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dibentuk menggunakan landasan yuridis UU Sementara 1950. Bukan UUD 1945. Khususnya pasal 89, 131 jo 132 UU Sementara 1950. Pasal 131 dan pasal 132 UUDS 1950 hanya mengenal satu jenis pemerintahan di daerah, yakni Daerah Otonom. Asas desentralisasi menjadi ruh dalam UU No.1 tahun 1957. Hal ini sebagai konsekwensi dari bentuk negara kesatuan yang didesentralisasi (vide pasal 1 ayat (1) UUDS 1950).

Konteks sejarahnya, UUDS 1950 yang menjadi landasan yuridis UU No. 1 tahun 1957 tercipta dari rentetan peristiwa panjang. Setelah agresi militer ke II, maka tercapailah persetujuan Konprensi Meja Bundar 27 Desember 1948.Republik Indonesia hanya berstatus Negara Bagian yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan. Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Untuk melaksanakan sistem ini, dalam UU No.1 tahun 1957 ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat pengertian ajaran rumah tangga yang formal dengan metode pekerjaan Daerah yang hirarkhis.

Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945, termasuk di dalamnya penyesuaian (bukan pencabutan) peraturan perundang-undangan mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam hubungan inilah ditetapkan Penpres No. 6/1959 sebagai penyempurnaan atas UU No. 1/1957. Pelbagai gagasan dasar dalam UU No. 1/1957 tetap dipertahankan seperti prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah, termasuk mengenai susunan Daerah Otonom.

Walaupun Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan Daerah dengan Penpres itu sendiri sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 menghendaki pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang, dan bukan dengan Penpres.

Pernyataan Bapak Mahfud juga mengkaitkan UU No.1/1957 dengan Pilkada langsung. Seakan menggiring publik dengan logika, karena UU No.1/1957 menganut Pilkada langsung maka UU tersebut dicabut oleh Bung Karno atas alasan tidak sesuai dengan demokrasi asli Indonesia. Pernyataan ini mengandung distorsi. Seakan memberitahu pada publik bahwa UU No.1/1957 hanya berisi satu tema tunggal, yakni Pemilihan Kepala Daerah. Sebagaimana RUU Pilkada saat ini. Padahal cakupan UU No.1/1957 berisi menyeluruh tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang diamanatkan konstitusi (UUDS 1950). Mekanisme pemilihan kepala daerah hanya satu bagian kecil dari keseluruhan isi UU tersebut.

Penpres No. 6/1959 yang menggunakan landasan yuridis UUD 1945, tidak saja mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dalam UU No.1/1957. Tetapi juga mengubah struktur dan kewenangan dari DPRD, Badan Pemerintah Daerah, Dewan Pemerintah Daerah, Pegawai Daerah, hingga keuangan daerah.

Mekanisme pemilihan kepala daerah dalam UU No.1/1957, tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah langsung atau tidak. Dalam Pasal 23 ayat (1) berbunyi "Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Pada ayat (2) : "Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang". Lalu darimana Bapak Mahfud bisa menyatakan dalam UU No.1/1957 menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Bahkan di dalam pasal 24 ayat (1) disebutkan: "Sebelum Undang-undang tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) ada, untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat (2) sampai dengan 7" Hingga Perpres No 6/1959 diberlakukan, tidak lahir UU lain yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah (baik langsung maupun tidak langsung) sebagaimana amanat pasal 23 ayat (1) UU No.1/1957. Baik secara normatif (UU) maupun dalam praktek penyelenggaraan, belum pernah terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung pada era itu (1957 -1959). Atas premis apa yang dibangun oleh Bapak Mahfud, sehingga tiba-tiba muncul konklusi: Bung Karno mencabut UU No.1/1957 (yang menganut Pilkada langsung) dicabut dengan alasan tidak sesuai dengan demokrasi asli Indonesia.

Sebagai murid, bisa saja saya keliru menilai pernyataan sang guru hingga mengajukan kritik. Tetapi, kritik yang saya lakukan untuk menempatkan yang terhormat guru saya Bapak Mahfud sebagai seorang intelektual dan akademisi. Berbeda halnya jika Bapak Mahfud ditempatkan sebagai seorang politisi. Dimana semua pernyataan memiliki tendesi politik dibaliknya.

Salam Kompasiana.

Sumber:


  • UUD 1945;
  • UUDS 1950;
  • UU No. 1 tahun 1957;
  • Penpres No. 1 tahun 1959;
  • Penpres No. 6 tahun 1959.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun