Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maulid, Maulud, Muludan, dan Sidang Ahok

13 Desember 2016   23:45 Diperbarui: 14 Desember 2016   01:06 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mainan masa kecil. Mengenang masa kanak-kanak yang gembira (Dokumentasi Pribadi)

Tulisan ini sebenarnya cuma mengimpor dari catatan di facebook kemarin (12/12). Sebuah kisah dan ucapan dalam rangka memperingati Maulid (Arab), Maulud atau Muludan (Jawa). Entah kenapa, ketika hendak dituliskan di forum ini, sepertinya susah banget masuknya. Senyampang masih hangat dengan beritanya sidang Ahok hari ini (13/12), sekalian saja judulnya ditambah "dan Sidang Ahok" dari judul awal "Maulid, Maulud, Muludan." Pengembangan dari sekadar tulisan pendek.

Apa kaitan di antara keduanya? Sebenarnya tidak ada secara langsung. Hanya saja jika mau membaca Nota Keberatan dalam sidang perdana itu (sumber: http://news.liputan6.com/read/2676687/isi-lengkap-nota-keberatan-ahok-dalam-persidangan) maka dapat dilihat bagaimana kedekatan Ahok sebagai seorang kristiani, turut melakukan tindakan yang juga bersifat islami.

Bahwa ada benang merah, keterkaitan antara perilaku masa kini dengan cerita kehidupan di masa kecil. Apa yang tertanam dalam ingatan, dalam memori masa lalu, buahnya adalah masa kini. Pertarungan wacana dan perilaku antara yang "pro" dan "kontra", tidak bisa dimungkiri adalah hasil dari didikan pada masa-masa sebelumnya. Jelas  akan kentara antara mereka yang terlihat arogan, penuh cemooh, swak sangka, dengan mereka yang bisa berlaku santun, peduli dan rendah hati.

Media dan Sarana Pencerdasan Warga

Flash back sejenak. Waktu liburan kemarin, tontonan tivi sempat memberitakan tentang adanya teror "bom panci" (info: http://global.liputan6.com/read/2676346/penangkapan-teroris-bekasi-dan-3-bom-panci-yang-mengguncang-dunia). "Ya Allah, ya Tuhanku, ... ini apa lagi ya?!" Dua hari libur yang semestinya bisa tenang, relaks, ternyata masih disuguhi berita yang begitu menyesakkan dada. 

Di pagi hari tadi, dua tivi swasta nasional sangat berbeda dalam pemberitaannya. Pada channel yang satu, presenter berita dengan bersemangat memberitakan tentang Ahok, sang penista agama. "Ah, ini tivi kok malah membuat orang 'naik darah' saat mendengarnya." Informasi yang disampaikan seperti ingin membela pihak 'pendemo' dengan tuntutan dan istilah yang dimauinya. Ah, syukurlah, informasi tadi di-jeda dengan iklan. Maka meluncurlah ke saluran yang lain.

Pada chanel tivi lain yang masih terkait dengan pengelola grup halaman ini, ternyata yang ditemukan adalah sebaliknya. Secara cerdas redaksi mengundang narasumber yang tahu persis seluk-beluk dunia hukum. Jadi, pagi itu serasa mendapat kuliah hukum. Penjelasannya cukup gamblang dan lugas. Bagaimana sebenarnya hukum acara peradilan kasus ini terjadi. Mana yang termasuk delik aduan dan mana yang bukan. Terutama sekali adalah soal terminologi hukum yang digunakan. Penistaan atau penodaan (agama). Dua hal yang sama sekali berbeda. Perbedaan istilah yang punya konsekuensi hukum yang juga berbeda.

Nah, dari sini saja sebenarnya sudah bisa diketahui sejauh mana media turut memberikan informasi dan opini kepada pemirsa. Mana yang lebih memberikan pemahaman yang lebih baik, menjadi sarana pencerdasan bagi masyarakat.

Menjelajah Masa Lalu

Dari serangkaian peristiwa tersebut, entah kenapa, saya merasa masa kecil kami yang tumbuh dalam masa generasi "X" (di bawah tahun 1980-an) jauh lebih menyenangkan ketimbang era digital sekarang ini. 

Dahulu, kami yang sadar berlainan agama dan etnis, tak pernah sekalipun menanyakan "agamamu apa?" saat kami bermain bersama. Justru kami berbaur bersama-sama, bisa berkeliling ke rumah para tetangga kami (Jw: unjung-unjung). Sekadar bersalaman dengan mereka, walau tak tahu artinya kala itu. Hanya menirukan saja ketika orang-orang dewasa melakukan hal itu. Yang senang, tentu saja ketika dapat “sangu” sambil icip-icip jajanan yang telah disediakan pemilik rumah yang disinggahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun