"Nyawa" TulisanÂ
Pertemuan nyata alias pengalaman sendiri dalam membuat sebuah tulisan, akan memiliki "bobot  yang berlebih". Sebab, narasi yang ditampilkannya akan terasa memiliki "roh, jiwa, nyawa". Sebab si penulis juga memasukkan unsur humanisnya.
Meskipun bertema sama, coba saja bandingkan ketika akan membuat tulisan "Profil" tapi dengan tokoh yang sudah dikenal alias publik figur. Walau mungkin tak bersua langsung, tapi orang III sebagai penulis, bisa saja mengemasnya ulang. Toh sumber informasinya mudah dilacak atau didapatkan. Tinggal fokus tulisannya itu mau ke mana? Apa yang hendak ditonjolkan di sana?
Apakah hanya sekedar menceritakan aktivitas si PF (publik figur) sekarang ini, setelah sekian lama vakum, tidak terdengar kabar beritanya? Apakah menceritakan sisi lain dari si PF, misalnya keikutsertaannya dalam misi kegiatan sosial. Sisi lain di luar profil utama sebagai artis, misalnya.
Menulis yang demikian ini, karena sumber informasinya dari pihak kedua kedua atau ketiga, atau malah lebih, maka tulisan seperti ini mungkin hanya seperti naskah formalitas. Tidak banyak yang bisa diulas lebih lanjut. Sebab, tak pernah face to face tadi yang jadi kendala.
Biografi
Kembali lagi jika hendak mengangkat "profil" atau riwayat hidup dari orang tua kita sendiri. Sedikit banyak, kita pasti tahu 'masa lalunya, dengan cerita yang mereka sampaikan. Suka duka mereka hingga sampai pada usia atau kondisi sekarang ini.
Belajar menjadi jurnalis, wartawan, investigastor. Atau apa sajalah istilah yang lebih pas mengungkapkannya. Pada saat kita berada di posisi tersebut, ini juga akan membantu orang tua dalam mengingat masa lalu dari hidupnya. "Biar tidak cepat pikun," kata para ilmuwan.
Nilai hidup, inspirasi, atau motivasi apa yang dapat dituliskan ke dalam bentuk cerita. Kalau sudah jadi, bukankah itu juga menjadi catatan yang berharga buat generasi penerus. Cerita yang tertulis, tidak akan lenyap bersama raga kelak.Â
Anggaplah aktivitas ini juga sebagai sarana "balas budi" yang baik kepada orang tua. Tidak usah minder dulu dengan hasil karya itu, yang mungkin tidak serenyah ketika membaca buku  cetakan profil seseorang sebagai publik figur yang sudah terkenal.
Proses mengingat orang tua tadi bercerita apa saja, lalu menjadikan yang lisan itu ke dalam tulisan. Bukankah itu juga melatih kepekaan dan mengasah keterampilan dalam menulis?