Â
Kalah Pamor dan Gengsi
Terkadang orang juga tak terlalu pede dengan kota kelahiran, kota asal atau domisilinya sendiri. Apalagi jika itu bukan di kota besar semacam ibukota propvinsi atau nama kota yang sudah cukup terkenal.
Misalnya demikian. Orang-orang perantauan yang menetap cukup lama di sebuah daerah migran. Entah mereka menjadi pedagang, atau karena sebuah perkawinan. Di tempat domisili yang baru itu, jika suatu saat bertemu seseorang lalu dalam percakapan itu menanyakan, "Aslinya mana?" Maka yang terjadi adalah sebutan daerah yang lebih terkenal yang akan disebutkan. Perkara lebih detilnya, urusan belakangan.
Contoh, suatu ketika saya sedang berada di kota yang masih dalam satu provinsi di Jawa Timur. Lalu ditanya tuan rumah, "Dari mana?" Saya jawab, "Surabaya."
Kemudian ia menceritakan. "Saya dulu juga waktu kecil, sekolah, pernah tinggal lama sama saudara waktu di Surabaya. Kira-kira tahun 1980-an. Dan bla-bla-ba....".
"Di daerah mana?" tanya untuk memperjelas, karena saya sebelumnya sudah menyebutkan daerah spesifik tempat tinggal asal.
"Di Waru," katanya lagi.
Saya tidak akan berdebat dengan tuan rumah soal penunjukan lokasi ini. Cukup, "Oo..." Selesai.
Waru adalah nama salah satu kecamatan di Sidoarjo. Memang wilayahnya ada yang berbatasan langsung dengan Surabaya.
Nah, persoalan yang sama juga bisa terjadi pada warga Gresik, yang wilayahnya juga ada yang berbatasan langsung dengan Surabaya.