Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pembiaran Pelanggaran Hukum, Saatnya Diakhiri!

29 Januari 2021   20:30 Diperbarui: 29 Januari 2021   20:36 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase tangkapan layar kompas,id

Kamis, 21 Januari 2021, Elianu Hia, orang tua Jeni Cahyani Hia, siswi SMK Negeri 2 Padang Sumatera Barat, berdebat dengan pihak sekolah soal 'kewajiban siswi mengenakan jilbab'. Hia adalah nama salah satu marga dari Nias.

Jeni dipanggil berkali-kali oleh sekolah sejak belajar tatap muka dimulai pada 11 Januari 2021 karena tak pernah pakai jilbab.
Jeni beragama Kristen. Ia termasuk 46 siswa di sekolah negeri tersebut yang non-muslim. Tapi sekolah itu mewajibkan semua siswi, tidak peduli agamanya apa, untuk menaati peraturan wajib jilbab.
Dalam pertemuan tersebut tak ada kesepakatan yang tercapai antara kedua belah pihak. Elianu diminta menandatangani surat pernyataan yang isinya bersedia melanjutkan perkara sambil menunggu keputusan pejabat lain yang lebih berwenang.

Isu ini lekas menjadi perhatian nasional, terutama setelah sang ayah siswi tersebut mengunggah video percakapannya dengan pihak sekolah lewat siaran langsung di akun Facebook bernama Elianu Hia.

"Lagi di sekolah SMK Negri 2 Padang. Saya di panggil karna anak saya tidak pakai jilbab, kita tunggu saja hasil akhirnya. Saya mohon di doakan ya," tulisnya sembari membagikan video tersebut.

Dalam video tersebut, Elianu tampak berdebat dengan salah satu guru. Ia menyayangkan peraturan tersebut dan mengaku keberatan jika anaknya harus mengenakan jilbab selama bersekolah.

"Bagaimana rasanya kalau anak Bapak dipaksa ikut aturan yayasan. Kalau yayasan tidak apa, ini kan (sekolah) negeri," kata Elianu.


Pihak sekolah pun bersikeras bahwa peraturan itu sudah disepakati sejak awal siswa masuk ke sekolah itu. Para guru mengaku tak bisa membiarkan salah satu siswa melanggar aturan itu.

"Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?"
"Bagi SMK 2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan."

 

(1)

Di tengah kabar duka yang saya terima saat ada warga yang meninggal, tadi pagi sebelum berangkat ke TPU untuk melakukan ibadah pemakaman, ketika sedang membaca berita yang dimuat di kompas.id, terpanjat rasa syukur dan bahagia.

Sebelum membaca isi seluruh berita yang ditulis itu, terlebih dulu melihat-lihat foto yang ditampilkan dan membaca keterangan yang ada di bawahnya. Benar-benar merasa senang.

Lima hari pasca meledak kasus menolak pemakaian jilbab oleh 1 di antara 46 murid SMK Negeri 2 Padang, akhirnya adik-adik ini bisa bernafas lebih bahagia. Mereka bisa menunjukkan identitas aslinya sebagai murid nonmuslim,

Mereka yang sejak awal masuk sekolah negeri terpaksa menggunakan jilbab sebagai atribut wajib di sekolah, sekarang sudah bisa tampil berbeda. Apa adanya sebagaimana keyakinan agama yang diimaninya.

Buah perjuangan dari warganet untuk menggelorakan kasus ini agar didengar oleh pejabat yang berwenang membuahkan hasil. Apalagi setelah menteri pendidikan mengancam pihak-pihak yang telah melakukan perbuatan yang melanggar nilai kebhinekaan ini agar mendapat sanksi tegas.

(2)

Awal dugaan saya tak meleset tatkala membaca statement yang dikatakan oleh sekolah yang bersangkutan, dalam hal ini diwakili kepala sekolah. Dituturkan sebelumnya bahwa murid nonmuslim yang memakai jilbab tidak ada masalah. Mereka senang dan merasa nyaman karena merasa tidak ada perbedaan dengan yang lain. Saya tidak tahu apakah itu hanya sebuah lips service atau kamuflase belaka.

Kalau pernyataan tersebut memang betul, mereka merasa nyaman, maka semestinya atribut itu masih melekat sampai benar-benar ada jaminan dan ketegasan soal peraturan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Pantauan wartawan kompas.id menyebutkan tanggal 26 Januari 2021, siswi yang sebelumnya mengenakan jilbab, sudah tidak lagi. Membiarkan rambutnya terlihat, tak lagi tertutup. Berarti itu hari Selasa. Jika Sabtu dan Minggu libur (5 hari efektif), maka gerak cepat itu terjadi pada Jumat dan Senin. Sebab kejadian awal terjadi pada Kamis, 21  Januari 2021. Bak bola salju menggelindingnya pasca hari itu.

Jadi kalau alasan para siswi merasa nyaman, sepertinya kok janggal. Semestinya tetap saja dipakai, sembari menunggu aturan bakunya keluar. Tetapi kenyataan berkata lain, mereka tak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena takut mendapat ancaman dari sekolah akibat pelanggaran seragam sekolah.

(3)

Yang tampak menggelikan adalah pernyataan dari mantan walikota yang seakan bangganya mengatakan itu sudah 15 tahun yang lalu, mengapa baru ramai sekarang? Bukankah ini seperti membenarkan kebijakan yang telah diambilnya waktu itu sudah tepat. Pernyataan yang konyol sebagai pejabat publik, yang semestinya berpihak atas nama kepentingan seluruh masyarakatnya. Bukan malah membuat segregasi, pembedaan dan diskriminasi atas dasar agama.

Ya, kewajiban menggunakan jilbab sudah ada sejak Wali Kota Padang Fauzi Bahar menjabat pada tahun 2005 yang setiap tahun diperbarui. Salah satu poin dalam Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/BINSOS-iii/2005 itu tertulis mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang.  

Kendati nomenklaturnya ditujukan kepada siswi Muslim, nyatanya murid beragama lain juga memakai jilbab. Mantan walikota Padang itu, Fauzi Bahar, berkata aturan itu dibuat untuk menjaga perempuan dan mengembalikan budaya Minang sehingga tak perlu dicabut.

"Kalau tidak suka dengan aturan sekolah ya, tinggal cari sekolah lain saja." Waduh... pernyataan macam apa ini...?!

(4)

LSM Setara Institute menyebut pemaksaan murid beragama lain mengenakan jilbab di sekolah negeri sudah berlangsung lama dan terjadi di berbagai daerah dengan alasan 'tradisi' atau 'kearifan lokal'. Padahal, dengan dalih apapun, tindakan intoleransi tidak bisa dibenarkan.

Perilaku intoleransi lain tidak hanya mewujud dalam bentuk aturan, tapi juga 'ekspresi guru' seperti yang terjadi di SMA Negeri 58 Jakarta. Seorang guru mengajak murid-muridnya memilih Ketua OSIS yang seagama.

Catatan Setara Instutute sepanjang tahun 2016-2018 ada tujuh kasus pemaksaan pelajar beragama Kristen mengenakan jilbab. Peristiwa ini berlokasi di SMP dan SMA Negeri di Provinsi Riau, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Tangkapan layar kompas.id
Tangkapan layar kompas.id
(5)

Hukum dan HAM yang Sengaja Diabaikan?

Menurut pandangan ahli hukum, kasus di Padang ini setidaknya memuat bermacam persoalan pelanggaran. Di antaranya:

1. Konstitusi sebagai hukum dasar NKRI, terutama Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 (staatfundamental norm) yang mengatur mengenai kebebasan beragama.

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 55 yang menyatakan setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya.

3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta "tidak diskriminatif" dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

4. Permendikbud No.17 Tahun 2017, yang konsiderans-nya memuat norma bahwa penerimaan peserta didik baru pada satuan pendidikan formal yaitu taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat, perlu dilakukan secara "objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi" guna meningkatkan akses layanan pendidikan.

Selain itu, tak kalah penting adalah konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Di antaranya:

1. International Covenant on Civil and Political Rights.

Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Dan pada ayat (2)-nya berbunyi: "tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya."

2. Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief.

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Tidak seorangpun boleh dijadikan sasaran diskriminasi oleh Negara, institusi, kelompok orang-orang, atau orang manapun berdasarkan alasan agama atau kepercayaan.

(6)

Dengan demikian maka penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim adalah merupakan pelanggaran HAM apalagi korban adalah kaum rentan. Seharusnya aturan sekolah berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.

Pemerintah seharusnya melindungi hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sekolah yang melanggar ketentuan dalam Permendikbud No. 45 Tahun 2014 akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [Pasal 6].

Sanksi tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 215 jo. Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP 17/2010).

Ketentuan di atas mengatur bahwa satuan atau program pendidikan waib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya [Pasal 50] serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [Pasal 51 ayat (1].

Bagi satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penggabungan, pembekuan, dan/atau penutupan satuan pendidikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya [Pasal 215].

                                                                                 

(7)

Ada lagi sebenarnya yang terlewatkan dari sekadar isu seputar pelanggaran HAM, kasus intoleransi, masalah kemajemukan, masalah keberagaman. Tak kalah penting adalah soal "perlindungan anak".

Anak? Iya betul! Anak, meskipun mereka ini duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat SMA atau SMK. Mereka ini masih dikategorikan sebagai "anak".  Coba dilihat Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Pada pasal 1 di situ disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sumber: instagram
Sumber: instagram
Angin segar perubahan yang mulai bertiup ini semoga bisa terus ditindaklanjuti. Perang terhadap segala bentuk diskriminasi dan intoleransi, harus tetap berlanjut. Agar ke depan, anak-anak generasi kebhinnekaan Indonesia, mereka dapat terus menjaga nyala api ini agar jangan sampai mengecil dan padam.

 Hendra Setiawan

29-01-2021

*) dirangkum dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun