Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arti Sebuah Nama

2 Oktober 2016   07:30 Diperbarui: 2 Oktober 2016   09:45 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah nama jalan atau fasilitas umum di satu kota bisa ditetapkan warga setempat tanpa persetujuan Kepala Daerah dan DPRD? Atau harus setahu dan disetujui Walikota, Bupati dan DPRD?

Nama yang dimaksud terutama nama yang berkait dengan sejarah, karena sebab-sebab khusus mungkin perlu pertimbangan pihak berwenang setempat.

Misalnya kenapa lapangan terbang Andir diberi nama Husein Sastranegara? Kenapa lapangan terbang Maguwo diberi nama Adisucipto? Tentu ada alasan kuat, kedua nama tersebut adalah 'pahlawan udara' bagi rakyat Jawa Barat dan Yogyakarta.

Pada Juni 1978 ketika pesawat twin otter yang saya tumpangi dalam proses mendarat di bandara Kendari, Sulawesi Tenggara, dari udara terlihat tulisan Wolter Monginsidi, nama bandara Kendari saat itu.

Saat itu? Ya, karena sejak 13 Februari 2010 nama bandara diganti menjadi bandara Haluoleo, yang diambil dari nama Raja Buton ke 6. Kenapa? Mungkin Haluoleo dianggap lebih tepat sebagai 'putera daerah' Sulawesi Tenggara dibanding Wolter Monginsidi, seorang pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan.

Di kota Bogor ada stadion sepakbola di seberang pabrik ban 'Gujir', dulu bernama Stadion Purana.

Dulu? Ya dulu zaman kejayaan PSB sekitar 1964 -1970 masih bernama Stadion Purana, namun sejak 1974 ganti nama jadi Stadion Pajajaran. Kenapa? Mungkin nama kerajaan Sunda Pajajaran dianggap lebih nendang daripada nama salah seorang raja Sunda baheula.

Pada hari Kamis 22 September 2016 saya ke Pekuburan Belender Bogor lewat perumahan Cimanggu Permai. Jalan utama yang saya lalui bernama Jalan Majapahit. Cukup heran menemukan jalan bernama kerajaan yang berkait dengan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Kenapa heran? Sepengamatan saya di Jawa Barat ada semacam konvensi / aturan tak tertulis untuk menghindari penamaan jalan dan fasilitas umum dengan nama Majapahit, Gajah Mada, Hayam Wuruk. Rasanya di Bandung can aya ngaran jalan kawas kitu. Hehehe ini gara-gara kelakuan Gajah Mada waktu peristiwa Bubat, ekornya panjang.

Kenapa di kota Bogor bisa ada nama jalan yang melanggar konvensi masyarakat Sunda? Bisa jadi nama jalan di kompleks perumahan diputuskan oleh pengembang perumahan tersebut tanpa konsultasi dengan pihak pemkot Bogor, atau pihak pemkot Bogor 'acuh beibeh', atau pejabat kota tidak mengetahui ada sasakala  'teu meunang mere ngaran' tertentu.

Barangkali ada yang tahu, apakah di Jawa Timur sekarang sudah ada nama jalan Siliwangi, Pajajaran, Wastukancana, Dyah Pitaloka untuk kategori jalan besar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun