Ada yang mengatakan rumah itu tempat untuk berpulang. Tempat yang selalu dirindukan di saat sepi, tempat yang menyimpan berjuta memori, tempat yang selalu menjadi tujuan akhir. Rumah, sebutanku untuk malam, pagi, dingin, panas, kelabu, abu-abu, dan jauh. Sebuah bangunan yang terbuat dari kayu dengan lantai kasar, atap yang bocor, tetapi tiang yang tangguh.Â
Malam hari, aku benci dengan angin yang mengguncang-guncang seng. Suara berisik dari atap mengusik tidurku yang lelap. Tubuh yang malas beranjak mengambil ember untuk menampung titik-titik air yang menerobos sudut atap rumah.Â
Tik, tik, tik demikian bunyi hujan yang jatuh di ember kosong. Tidurku tidak terjaga, was-was dan gelisah banjir akan menerjang. Berhentilah, mohonku pada hujan yang semakin garang. Pohon besar di samping rumah mengacak-acak daunnya hingga terlepas dari tangkai kayu dan berserakkan di teras depan rumah.Â
Tenanglah, mohonku pada tumbuhan yang masih diombang-ambingkan angin. Gelisah ini membuatku sulit tidur. Semua orang menyembunyikan diri dalam selimut yang tebal.Â
Aku masih terjaga dalam suara langit yang gemuruh. Petir membelah gelapnya malam, menghantarkan kilat yang menyala-nyala. Bulu kudukku merinding. Layaknya menyaksikan tongkat nenek sihir yang mengucapkan kutukannya ke arahku. Ujung jari kakiku dingin hingga suara seorang perempuan mengagetkanku.Â
"Kenapa ngak tidur?" suara yang samar-samar mengisi sela-sela rintik hujan. Aku takut, suara itu mengecil seiring dengan suara ngorok berat yang semakin membesar. Kepalaku yang kecil kusenderkan di dinding kayu yang dingin. Celah-celah kecil di dinding rumah mengizinkan cahaya kilat masuk ke tempat tidurku. Tengah malam yang misteri mengguncangkan nyala api kecil yang menempel di dinding.Â
Aku meniupnya, seketika ruangan gelap. Aku mencari meja untuk menuntunku ke tempat tidur. Barang yang terletak di lantai menyandungku hingga kepalaku terantuk di kursi. Aku tidak melihat burung menari di kepala, yang jelas kepalaku pusing. Aku tertidur di atas lantai yang dingin.
Aroma masakan yang menyusup ke penciuman membuatku siuman. Tubuhku di atas kasur, selimut tebal menimpa tubuh kecilku. Rutinitas berdoa di pagi hari tak kulewatkan, tetapi aku tidak fokus. Pikiranku pada masakan dapur yang nikmat. Adu mulut terjadi antara adikku dengan kakakku. Pemandangan ini yang membuatku tak kalah berang dan juga turut berlomba menjadi jagoan. Pertengkaran mulut hingga fisik membuat makanan jatuh ke lantai. Ini bukan porsi yang tidak cukup untuk sekeluarga, tetapi hanya memperebutkan bagian paha atau dada ayam.Â
"Frans, kemarin kok di lantai tidurnya?" Mama memecahkan kegaduhan di antara kami.
"Enak aja Ma," jawabku seadanya.
"Itu, mama sudah teteskan obat merah di kepalamu"