Mohon tunggu...
Helena Mutiara
Helena Mutiara Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pembelajar teori komunikasi di Unika Soegijapranata

"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" -Pramoedya Ananta Toer- Communication Science SCU'20

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Fenomena "Spill The Tea" dalam Kacamata Hukum

2 Januari 2021   16:12 Diperbarui: 3 Januari 2021   01:35 3041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia Twitter tentunya tidak asing dengan cuitan "Spill The Tea" yang biasa menarik banyak sekali atensi masyarakat. Budaya "Spill The Tea" pada awalnya terjadi di Twitter sebelum pada akhirnya merambah ke platform media sosial yang lain, seperti Instagram, TikTok, YouTube, dll. Ada berbagai latar belakang yang mendasari pembuatan cuitan seperti itu, mulai hanya sekedar mencari atensi dari masyarakat atau lebih kepada bentuk keputusasaan korban dalam menghadapi pelaku dan korban berusaha mencari bantuan dari masyarakat.

Salah satu kasus yang paling mengemparkan warga Indonesia yang bersumber dari cuitan "Spill The Tea" di Twitter pada tahun 2020 ini adalah kasus Gilang "Bungkus". Kasus ini ramai dibicarakan oleh masyarakat setelah akun Twitter @m_fikris menuliskan thread yang berisikan pengalamanya menjadi korban fetish dari Gilang. Berawal dari sebuah thread di Twitter, kasus ini berbuntut panjang hingga Gilang ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.

Mengenal Budaya "Spill The Tea"

"Spill The Tea (Secara bahasa berarti "Tumpahkan Tehnya" atau bisa diartikan sebagai meminta gosip atau fakta dari suatu isu)" merupakan sebuah kata gaul yang biasa digunakan untuk mengali suatu informasi. Biasanya hal tersebut diawali dengan pembuatan sebuah thread entah berupa tips and trick, cerita, atau bahkan sebuah gosip yang hanya berbentuk "teaser", kemudian warga Twitter akan mengucapkan kata "Spill The Tea" untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Kemudahan untuk menyampaikan informasi ini kemudian dimanfaatkan banyak orang entah hanya untuk sekedar viral ataupun menyampaikan pendapat/opini pribadinya yang tidak bisa ia sampaikan di dunia nyata.

Hal tersebut didukung karena banyak warga Indonesia yang sering lalai untuk mencari tau kebenaran suatu berita terlebih dahulu, sehingga sebuah thread di Twitter seperti itu mudah sekali untuk menjadi viral. Jika kita lihat memang cara "Spill The Tea" ini menimbulkan kepedulian masyarakat terhadap suatu kasus, contohnya kasus pelecehan seksual.

Seperti yang kita tau akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan seksual yang berhasil terangkat ke publik karena sebuah thread di Twitter, baik pelecehan seksual yang dilakukan melalui pesan singkat maupun yang sudah melukai korban secara fisik atau batin. Maraknya pembuatan thread semacam ini terkadang digunakan oleh oknum tertentu untuk mencari ketenaran atau menyebarkan sebuah hoaks secara cepat. Bagaimana tidak, jika sebuah thread mencuat di Twitter dalam hitungan jam ribuan likes, komentar, dan share langsung memenuhi thread tersebut hingga naik menjadi sebuah berita nasional.

Mengapa "Spill The Tea" Menjadi Suatu Budaya?

Pelecehan seksual menjadi kasus paling banyak yang terbongkar setelah adanya sebuah thread. Bagi sebagian orang akan mempertanyakan motif korban membuat sebuah thread di Twitter seperti itu, kadang kita berpikir Mengapa korban tidak lapor ke pihak berwajib, tetapi justru mengumbar masalahnya ke media sosial?

Menurut Dra. Binahayati salah satu dosen dengan Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD dengan konsentrasi gender violence mengatakan mengapa fenomena "Spill The Tea" tersebut kemudian menjadi suatu budaya? Karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum atau aparat hukum untuk menanggani suatu kasus terutama kasus pelecehan seksual. Banyak masyarakat yang bahkan menganggap sepele kasus pelecehan seksual, sehingga korban merasa frustasi dan merasa tidak punya ruang untuk mencari keadilan. Akhirnya korban merasa langkah paling cepat untuk mendapatkan keadilan adalah dengan membongkar kejadian yang ia alami ke media sosial dengan harapan mendapatan atensi dan bantuan dari masyarakat.

Bukan menjadi suatu hal yang asing di telinga kita bahwa ada anggapan di masyarakat bahwa kepolisian baru akan menindak suatu perkara jika sudah viral dimana-mana. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, jika kita ingat kasus pelecehan seksual yang menimpa Amy Fitria, seorang perempuan yang diperkosa oleh laki-laki asing di kamarnya saat ia sedang tertidur. Amy telah melaporkan kejadian pemerkosaan tersebut ke pihak kepolisian tetapi kasusnya tidak kunjung ditangani.

Satu tahun kemudian Amy membuat sebuah thread di Instagram yang menceritakan bagaimana kronologi kejadian pemerkosaan yang ia alami. Thread tersebut kemudian menjadi viral dan masyarakat mendesak pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku. Benar saja hanya dalam waktu dua hari pihak kepolisian berhasil menangkap pelaku pemerkosaan tersebut. Kejadian diatas seolah membenarkan stigma masyarakat bahwa suatu kasus harus menjadi viral terlebih dahulu agar dapat ditangani oleh pihak kepolisian, di sisi laln kejadian tersebut juga membenarkan pendapat Dra. Binahayati bahwa masyarakat masih menganggap remeh kasus pelecehan seksual bahakan dalam kasus ini kepolisian juga menganggap remeh kasus pelecehan seksual seperti yang dialami oleh Amy Fitria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun