Mohon tunggu...
Helena Mutiara
Helena Mutiara Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pembelajar teori komunikasi di Unika Soegijapranata

"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" -Pramoedya Ananta Toer- Communication Science SCU'20

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Kata "Cina" Setelah 1998

30 November 2018   22:14 Diperbarui: 30 November 2018   22:43 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     20 tahun berlalu, kini Indonesia tengah gencar mendegung-dengungkan perihal Reformasi menjadi harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Masih segar diingatan kita masing-masing kekelaman dibalik 1998, kehidupan masyarakat Indonesia yang bergantung pada kekejaman sang diktaktor. Menjadi minoritas dikalangan pribumi pada awalnya bukan menjadi masalah yang serius, jika kita menilik 50 tahun yang lalu yaitu pasca kemerdekaan, masyarakat pribumi maupun etnis Tionghoa  masih bisa hidup secara berdampingan di tengah-tengah kehidupan Indonesia yang multikultural.

    Semua terasa tenang di pagi hari tanggal 13 Mei 1998, aktivitas masyarakat masih berjalan seperti biasa, tetapi sekitar pukul 10.00 WIB, terjadi peristiwa yang banyak orang dewasa sebut sebagai kerusuhan. Banyak toko-toko yang dijarah, rumah-rumah yang dibakar. Pada awalnya target utama dari peristiwa kelam ini adalah mereka masyarakat Indonesia yang ber-etnis Tionghoa. 

Tetapi karena emosi masyarakat yang terus meningkat mereka tidak pilih-pilih lagi, siapapun yang mereka temui menjadi target bagi mereka. Banyak orang yang ketakutan yang merasa dirinya sangat tidak aman, hal ini juga menyebabkan banyak masyarakat pribumi yang menulis di tembok rumah mereka dengan tulisan "pribumi" karena ketakutan akan penyerangan tersebut. Sedangkan banyak masyarakat Indonesia yang ber-etnis Tionghoa yang memilih untuk melarikan diri ke luar negeri sebelum pecahnya peristiwa itu.

     Banyak toko-toko yang dijarah, gedung-gedung yang dibakar dan kerusushan ada dimana-mana. Bahkan suasana semakin mencekam ketika banyaknya suara tembakan antara ABRI dan para masyarakat. 

Peristiwa yang tidak diketahui siapa pemicunya tersebut, ternyata menimbulkan trauma yang sangat mendalam bukan hanya bagi kaum minoritas, tetapi juga bagi kaum mayoritas. Peristiwa yang kadang menimbulkan tanya bagi mereka. " ma aku ini orang Indonesia apa bukan?" 

Peristiwa yang menimbulkan trauma besar bagi mereka, yang merasa tidak menemukan hak atas rasa aman di atas tanah kelahirannya sendiri. Pemerkosaan, penjarahan, kericuhan, menghiasi langit ibukota, terutama kerusuhan terjadi di daerah yang mayoritas dihuni oleh etnis Tionghoa seperti daerah Glodok, di Jakarta Barat. Puncak dari peristiwa ini adalah lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

      Ketegangan terjadi dimana-mana banyak dari mereka yang merasa was-was setiap kali ada sekumpulan orang yang mendekati mereka. Banyak dari mereka yang berusaha untuk menyamar menjadi pribumi agar tidak menjadi sasaran amukan warga.  Dikutip dari BBC News Indonesia, seseorang berketurunan Tionghoa bernama Lim(bukan nama sebenarnya) ia menuturkan "Sakit dan perih rasanya menerima kenyataan bahwa orang-orang disekitar saya mau membunuh saya karena mata saya sipit padahal lahir dan besar di Indonesia, makan nasi juga, Bahasa Mandarin tidak bisa, darah sama-sama merah." 

Di sisi lain dikutip dari CNN Indonesia ada pelajar Indonesia beretnis Tionghoa menuturkan. " pengalaman sangat-sangat traumatik waktu itu binggung kenapa orang Tionghoa jadi korban, masalahnya apa, Tionghoa kenapa, teman-teman juga binggung, emang kami bukan warga Negara Indonesia ya," tutur Candra. Dari dua kutipan diatas dapat kita lihat bagaimana mengerikan dan juga sangat menegangkannya suasana saat itu, dimana banyak orang yang diselimuti perasaan takut dan terbayang-bayangi oleh trauma.

      Tidak dapat dipungkiri peristiwa G-30SPKI menjadi salah satu tonggak dari terjadinya peristiwa ini.  banyak dari mereka yang tidak tau siapa yang harus mereka hadapi, mereka merasa ketakutan dengan semua orang yang ada disekitar mereka, banyak dari mereka yang terkadang merasa malu dilahirkan sebagai etnis Tionghoa karena peristiwa tersebut.  Banyak aktivis Tionghoa yang berusaha mengembalikan kepercayaan diri mereka untuk mengakui identitas diri mereka sebagai kaum etnis Tionghoa, salah satu contohnya adalah Soe Hok Gie, yang melalui tulisan-tulisan nya, ia mampu mengembalikan rasa kepemilikan terhadap etnis Tionghoa.

      Banyak trauma yang ditimbulkan dari kejadian ini, banyak perubahan sikap yang sangat signifikan yang dilakukan oleh mereka yang ber-etnis Tionghoa pasca kejadian tersebut. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, catatan sejarah tersebut membentuk pola perilaku masyarakat ber-etnis Tionghoa, bukan tanpa alasan, mereka berusaha mencari rasa aman bagi diri mereka di atas negeri mereka sendiri, peristiwa-peristiwa masa lalu tersebut membuat mereka harus hidup dalam rumah yang penuh dengan teralis dan juga pagar-pagar tinggi, menciptakan stigma bahwa etnis ini adalah etnis yag memiliki sifat individualis yang tidak mau berbaur dengan etnis lain yang ada di Indonesia, dan juga menimbulkan kesan bahwa etnis ini sangat menutup diri dari orang lain. Catatan kelam masa lalu, serta kekurangan atas rasa aman, dan keinginan atas hak pengakuan menyebabkan perubahan perilaku para etnis Tionghoa ini.

      20 tahun berlalu, luka masa lalu pelan-pelan mulai dapat terobati, walaupun tidak mungkin dihilangkan dari ingatan pribadi. Perkembangan reformasi benar terjadi adanya, perlahan-lahan semua Rakyat Indonesia mulai bisa merasakan apa itu arti kebebasan. Era berubah, perkembangan kehidupan sosial dan politik di tanah air juga sudah mengalami pergeseran. Terbukti dari banyaknya politisi Indonesia yang berketurunan Tionghoa, seperti Hary Tanoesoedibjo, Basuki Tjahja Purnama, dll. Pada zaman sekarang sudah tidak ada stigma lagi yang mengatakan bahwa seorang etnis Tionghoa hanya menjadi seorang pembinis, buktinya mereka berani melalui zona nyaman mereka dan berani untuk bergabung dengan pemerintahan Indonesia. Sejak era kepeminpinan Abdurrahman Wahid, tembok batas diskriminasi atas warga Tionghoa memang perlahan terkikis selapis demi selapis, kini orang Cina yang berpolitik dan duduk di pemerintahan sudah tidak lagi dianggap 'ajaib' oleh orang kebanyakan. Tetapi justru semakin banyak orang yang mulai membuka diri untuk terlibat aktif di dalam pemerintahan Indonesia. Kini diangaap sudah tidak ada resitensi lagi dan ini membuktikan bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia mulai diterima oleh masyarakat Indonesia dan sudah diakui eksistensinya di Indonesia.

Sumber-sumber: 1, 2, 3, 4, ,5, 6, 7.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun