Mohon tunggu...
Helena Aurelia Putri
Helena Aurelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dampak Industri Fast Fashion di China Terhadap Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca Global

4 Juli 2025   21:10 Diperbarui: 4 Juli 2025   21:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan lingkungan global mulai diperhatikan semenjak tahun 1970-an. Seiring berkembangnya kesadaran terhadap isu lingkungan, perhatian mulai bergeser tidak hanya pada eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan polusi industri, tetapi juga pada pola konsumsi massal yang kerap diabaikan. Salah satu sektor yang menjadi sorotan adalah industri fashion. Model bisnis fast fashion adalah menjual pakaian yang murah, cepat, dan mengikuti tren. Industri fast fashion mendapatkan banyak keuntungan dengan mengandalkan konsumsi yang impulsif dan pembelian berulang yang membuat konsumen membeli lebih banyak, tetapi memakai lebih sedikit. Istilah "fast fashion" pertama kali digunakan oleh The New York Times pada awal 1990-an untuk menggambarkan strategi merek Zara yang mampu membawa desain dari konsep ke toko dalam waktu hanya 15 hari. Kemunculan istilah ini membawa perubahan signifikan dalam industri fashion yang mana kecepatan produksi dan distribusi harus memenuhi permintaan konsumen yang semakin dinamis. 

Konsumen terbanyak dari fast fashion adalah Amerika Serikat. Di Eropa, pembelian pakaian naik menjadi 40% di tahun 1996–2012, tetapi durasi pakai menurun 36% sejak 2005. Di Amerika, kebanyakan orang-orang membeli 1 pakaian tiap 5,5 hari. Brand fashion kini memproduksi hampir 2x lipat koleksi dibandingkan sebelum tahun 2000. Hal ini membuat pertumbuhan konsumsi dan produksi tekstil per kapitanya meningkat dari 5,9 kg (1975) ke 13 kg (2018). Kemudian, konsumsi global mencapai 62 juta ton per tahun dan diproyeksikan akan menjadi 102 juta ton pada 2030. Global South juga mengalami peningkatan dalam pembelian pakaian bergaya barat. Namun, peningkatan produksi dan konsumsi ini menimbulkan dampak serius bagi emisi dari Gas Rumah Kaca (GRK) karena menyumbang 8-10% emisi dari CO2 global atau sebanyak 4-5 miliar ton per tahunnya.  

China saat ini merupakan aktor kunci dalam industri fast fashionglobal dengan total ekspor dari tahun 1992-2024 mencapai 335,6 miliar USD dan untuk total ekspor tekstil mencapai 322,4 miliar USD. Namun, hal ini membuat China menjadi negara dengan kontribusi tertinggi terhadap emisi GRK. Berdasarkan laporan UNEP (2024) emisi GRK tahun 2023 di China mencapai 30% dari total emisi global. Sekitar 31,7% pakaian dunia diproduksi di China, menjadikan negara ini episentrum dalam rantai pasok global fast fashion. Kementerian LHK menjelaskan bahwa “Emisi GRK adalah gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia yang menimbulkan efek pemanasan global. Emisi GRK berasal dari berbagai macam zat, seperti metana, batubara, karbon CO2, nitrous oxide, dan minyak bumi. Zat-zat tersebut dapat berasal dari proses pembuatan pakaian fast fashionyang memperburuk kondisi atmosfer bumi. Proses produksi fast fashion dilakukan melalui rantai pasok yang panjang dan menyumbang emisi GRK di hampir setiap tahapnya. Proses ini dimulai dari pembuatan model desain, pengambilan bahan baku, proses pembuatan garmen, distribusi hasil pakaian, dan sampai ke retailers. Dalam proses pembuatan desain, biasanya dilakukan di Global North yang kemudian desain tersebut dikirim dan diproses di Global South, seperti China. 

Dalam proses produksi, bahan-bahan yang dipakai, seperti wol, katun, kapas, dan polister, dapat menimbulkan emisi GRK. Bahan katun sering digunakan dalam pembuatan pakaian karena dianggap alami, tetapi proses budidayanya memerlukan penggunaan air, pupuk, dan pestisida dalam jumlah besar. Jika tidak dikelola secara berkelanjutan, produksi katun akan menghasilkan emisi N2O (nitrous oxide) yang merupakan emisi dari GRK. Begitu juga dengan bahan wol yang berdampak pada kenaikan GRK yang besar di awal produksi karena domba mengeluarkan zat metana bahkan sebelum produksi dimulai. Dalam budidaya kapas, peningkatan penggunaan pupuk hanya akan membuat peningkatan produksi sekitar 6%. Namun, hal ini malah menyebabkan peningkatan emisi Nitrous Oksida (N₂O), yang berkontribusi dalam zat-zat emisi GRK, tanah sebesar 62%.

Produksi pakaian di China sebagian besar ditenagai oleh batu bara yang berdampak buruk terhadap emisi GRK. Hal ini juga diperparah dengan bahan dasar pembuatannya, seperti polister yang berasal dari 82% sumber daya fosil. Poliester merupakan serat sintetis berbasis minyak bumi yang menyumbang sekitar 52% dari total serat yang digunakan dalam industri tekstil global. Proses produksinya sangat intensif energi karena bergantung pada ekstraksi dan pemrosesan bahan fosil yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Tahap produksi, seperti pemintalan benang, penenunan kain, pewarnaan tekstil, dan konveksi pakaian jadi, masih bergantung pada energi fosil terutama batu bara yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Dijelaskan dalam sebuah penelitian jejak karbon dari produk jeans, bahwa “produksi serat dan jeans merupakan kontributor utama dalam industri fast fashionyang menyumbang 70% dari jejak karbon, diikuti oleh tahap transportasi  sebesar 21%,”. Dalam produksi per 1 t-shirt, kapas yang digunakan sebesar 8% dengan emisi karbon yang dihasilkan sebesar 2,6 kg. Sedangkan jeans, rata-rata kapas yang digunakan sebesar 9% dengan karbon CO2 yang dihasilkan sebesar 11,5 kg. Hasilnya, sebesar 35% emisi CO2 dihasilkan dari proses produksi tekstil, sementara 52% dihasilkan selama fase penggunaan. Dari semua rantai pasok tersebut, dapat menyumbang sekitar 8-10% emisi GRK global lebih besar daripada sektor penerbangan dan pelayaran 

Di tahap distribusi, produk-produk fast fashion dikirim menggunakan kapal kontainer, truk, atau pesawat kargo menuju pusat-pusat distribusi dunia, khususnya di Amerika Utara dan Eropa. Pengiriman menggunakan transportasi ini, baik dalam negeri maupun lintas negara, menyumbang emisi CO₂ dalam jumlah signifikan. Bahkan 1% pemindahan angkutan dari kapal ke kargo dapat menyumbang emisi sebanyak GRK 35%. 

Overproduction juga menjadi isu besar dalam fast fashion. Barang-barang yang tidak terjual sering kali dibakar atau dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menghasilkan emisi metana yang berdampak buruk kepada emisi GRK. Pada tahun 2012, sekitar 60% dari 150 juta pakaian hanya bertahan beberapa tahun dan akhirnya dibuang sia-sia. Studi oleh Beech (2022) juga mengatakan bahwa hanya 20% pakaian yang bisa didaur ulang dan 80% sisanya dibakar di TPA. Di fase penggunaan, total emisi GRK global bisa mencapai 14%.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun