Anak gadis saya kelas 2 SMA, menjelang waktu sahur bertanya pada saya, “aduh… lagu Kata Pujangga itu bagus banget ya, enak didengar,” katanya sambil menunjuk televisi.
Memang, sebulan Ramadhan ini, kita sahur disuguhi acara televisi marak dengan program yang bertema hiburan religi, atau entah apalah namanya, tapi saya melihat keluarga terhibur menonton acara tsb.
Terlepas dari pro kontra Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang telah memberikan surat teguran tertanggal 16 Juli 2013 ke Trans TV, lantaran acara ini banyak mengandung lawakan yang melecehkan. Tapi penonton cukup senang mendengar lagu lawas “Kata Pujangga” yang di Indonesia di populerkan Rhoma Irama. Lagu itu cukup mengguncangkan kalbu pemirsa muda. dalam acara Yuk Kita Sahur yang ditayangkan Trans TV.
“Pak, tolong dong di download lagu Kata Pujangga itu saya minta, please,” katanya kepada saya.
“Lagu itu bukan original Indonesia punya, Neng. Ada versi India dan versi Arabnya, mau?” saya menjawab dengan serius, tapi rasanya dia tidak percaya karena matanya terbelalak. Ingin rasanya menjelaskan dengan rinci, sayang di Indonesia sudah langka penulis musik sekaliber Remy Sylado yang bisa menjelaskan dengan rinci asal-usul musik dangdut, melayu yang akarnya dari musik Hindustan, India klasik, melayu, dan Arab.
Bentuk musik ini berakar awal dasar dari Qasidah yang terbawa oleh Agama Islam yang masuk Nusantara tahun 635 - 1600 dan Gambus yang dibawa oleh migrasi orang Arab tahun 1870 - sesudah 1888, kemudian menjelma sebagai Musik Gambus tahun 1930 oleh orang Arab-Indonesia bernama Syech Albar (Ayah musisi Achmad Albar), selanjutnya menjelma sebagai Musik Melayu Deli pada tahun 1940 oleh Husein Bawafie, dan tahun 1950 pengaruh musik Amerika Latin serta tahun 1958 dipengaruhi Musik India melalui film Bollywood oleh Ellya Khadam dengan lagu Boneka India, dan terakhir lahir sebagai Dangdut tahun 1968 dengan tokoh utama Rhoma Irama (Soneta).
Dangdut itu enak, cengkoknya pas di telinga anak Indonesia, termasuk anak saya yang kupingnya melayu, meski kini mereka djejali musik barat dan Korea yang mendominasi jagat hiburan akhir-akhir ini seperti; Imagine Dragons, Justin Timberlake, Macklemore, Bruno Mars, Selena Gomez, Pink, Mariah Carey, Rihanna, Christina Aguilera, Maroon 5, Chris Brown, Avril Levigne, One Direction, atau K pop, Gangnam Style, dll dsb.
Tapi anehnya, ketika Trans TV mempopulerkan kembali lagu Kata Pujangga itu, kok bisa pas dengan telinga anak ABG sekarang? Jangan-jangan “Kuping Melayu” nya berfungsi kembali. Oleh karena alasan itu pula saya jadi berusaha menulis masalah musik ini.
Menurut Remy Sylado, sastrawan dan musikolog terkenal itu. Ternyata lagu dangdut itu memang disukai publik. Di Bandung tahun 1960-an "Boneka dari India" lagu itu (Ellya Khadam) hampir setiap hari diputar di radio. "Bahkan hampir menyaingi lagu 'Patah Hati'-nya Rahmat Kartolo," kata Remy yang penulis Ensiklopedi Musik itu.
Lagu itu menjadi penting karena sejak saat itu elemen bunyi serupa Tabla menjadi bagian tak terpisahkan dari musik yang pada awal 1970-an dikenal sebagai dangdut. Munif Bahasoan, tokoh musik Melayu, mencatat, lagu "Boneka dari India" menandai peralihan dari zaman musik Melayu Deli ke era Melayu bernuansa India. Remy, yang pernah mengasuh majalah Aktuil, mengakui bahwa dangdut versi "Boneka" itu merupakan embrio dangdut saat ini. Menurut Remy, elemen bunyi dang dang dut itu belum pernah dipakai tokoh musik Melayu seperti Said Effendi sekalipun. "Ellya Khadam-lah yang menyebarkan wabah itu, jadi bukan Elvy (Sukaesih) atau yang lain," katanya.
Sejak saat itu banyak lagu India, Gambus, yang diadaptasi ke lagu dangdut versi Indonesia, lagu Penantian (Muchsin Alatas) adalah dari lagu India berjudul Aaja tujhko Fukare Mere geet http://www.youtube.com/watch?v=O_JWNJtR8oo, Lagu Ya Tayiba, menjadi “Bang Toyib, Bang Toyib kenapa gak pulang-pulaaa…ng!.” Dan lagu Salam Mim Ba’id http://www.youtube.com/watch?v=o_jnqzpHBH0 menjadi Kumbang-Kumbang (Ade Irma), Lagu Mere Man Ki Ganga http://www.youtube.com/watch?v=5kDPTrnvw-U(Versi India 1964), Marhabibi Salam http://www.youtube.com/watch?v=00_saiD95Xc (Versi Arab) menjadi Kata Pujangga (Versi Indonesia) semua sami mawon. Aransemen musik persis sama. Yang menarik, Nassar KDI yang masih langsing di youtube malah menyanyikannya dalam tiga bahasa, Indonesia, India dan Arab sekaligus.
Tapi anak saya itu setelah mengerti jadi mengkritik, “itu kok Rhoma Irama nyebelin banget ya?, kok nyontek?, plagiat dong, gimana Pak?”
Sudahlah, jangan dipikirin soal contek-menyontek, benturan kebudayaan dari zaman ke zaman, dimanapun kebudayan di bumi ini saling memengaruhi dan melahirkan kebudayaan baru.
Di sinilah uniknya bangsa Indonesia, kekuatan bangsa Indonesia adalah bangsa yang mudah beradaptasi. Bangsa Indonesia akan bertahan dalam benturan peradaban Timur-Barat yang diramalkan filsuf Samuel Huntington. Menurut Darwin, spesies yang akan menang dalam pertempuran kekejaman hidup di dunia ini bukanlah yang kuat, atau yang jagoan. Tapi spesies yang akan bertahan adalah spesies yang mampu beradaptasi. Contohnya Dinosaurus yang kuat dan besar itu punah, lenyap. Tapi Jerapah beradaptasi memanjangkan lehernya.
Kebhinekaan yang kini tercabik bukan menjadikan permusuhan, keragaman hendaknya menjadi suatu modal kekuatan, keragaman, kekayaan dan persaudaraan. Lagi pula kata Bung Karno contek-menyontek itu katanya termasuk gotong-royong.
Terlepas dari pro-kontra, lagu-lagu gambus, qasidah, atau orkes melayu lawas yang dimodifikasi menjadi dangdut modern, marak di TV enak di dengar dan menghibur, bergoyang, ceria. muda, energik. Tapi juga ada baiknya jika Trans TV juga memberi masukan pengetahuan musik terhadap generasi muda, dan tak ada salahnya “lain kali” menanyangkan versi originalnya, sekedar pembanding dan masukan bagi mereka generasi yang teputus. Tayangan Yuk Kita Sahur Trans TV cukup inovatif dan sukses.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI