Beberapa segmentasi sosial masyarakat bergerak ke arah yang lebih progresif, sedangkan yang lainnya tetap menikmati relasi hierarki 'jajah-menjajah' yang diciptakan dari sebuah reaksi psikologis abnormal.Â
Beberapa di antaranya berdalih mengatasnamakan kebaktian terhadap suatu hal. Seperti seorang perempuan yang dijajah secara mental oleh seorang suami yang berpoligami kemudian tetap bertahan dalam kondisi demikian, dengan mengatasnamakan kebaktian kepada suami dan agama.
Idealnya, ketidakadilan akan memunculkan pergerakan yang cenderung reformatif. Pergerakan tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya komitmen bersama untuk menyelesaikan penindasan-penindasan yang terjadi. Â
Permasalahannya, keinginan tersebut selalu berbenturan dengan nilai-nilai yang secara kompleks dianggap benar oleh suatu lingkup masyarakat. Manusia selalu berbenturan dengan kepentingan sesamanya, misalnya, irisan masyarakat yang masih menganggap bahwa penyerahan mahar pernikahan adalah proses jual-beli perempuan.
Lantas, jika hierarki memberikan legitimasi terhadap ketidakadilan dan pihak dominan akan selalu mendapatkan keuntungan yang masif atas kedudukannya, sedangkan konsep egaliter ditolak mentah-mentah sebab membawa jantung keadilan, maka pada sisi inilah kebinatangan manusia nampak jelas.Â
Tak ada keadilan jika keadilan itu menghilangkan keuntungan, tak ada keadilan sebab keadilan tak membawa keuntungan yang signifikan dan melenakan. Hierarki mungkin dapat dikatakan sebagai produk khayalan, tetapi pada nyatanya, khayal apalagi yang dapat mendatangkan keuntungan secara faktual selain hierarki?