Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelana (Tidak) Gila

8 Maret 2018   17:47 Diperbarui: 8 Maret 2018   17:48 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tiang besi abu-abu tua, kibarannya menantang angkasa yang membiru oleh sebatas pandangan mata. Dua warna, merah dan putih seperti saling melengkapi, konon para guru dan orang tua mengurai maknanya, bahwa merah adalah lambang keberanian, keperkasaan, ketegasan, kegagahan, kegigihan dan segala yang berupa laku tubuh yang berujung pada perjuangan. 

'Itukah maksud merah?' sedangkan putih di tafsir sebagai keluhuran, kesucian, ketenangan, kesopanan, kebersihan atau apapun yang berwujud lembut dan dapat membangkitkan perasaan suka cita. 

Di depan gedung tua itu, Kelana terus menatap merah putih, matanya tak berkedip menangkap laju kibarannya di tiupan angin, pikirannya masih mencerna makna warna merah putih. Mengapa tak ada warna lainnya? Mengapa merah dan putih menjadi pilihan? Bukankah hitam dan putih justru lebih praktis, lebih mudah ditafsir? Hitam adalah gelap dan putih adalah cahaya. 

Ah, sudahlah, Kelana menepis pikiran-pikiran itu dari kepalanya tanpa sedikitpun berpaling dari merah putih. Sejak pukul sembilan pagi ia berdiri di situ, orang-orang yang lewat menatapnya iba, ada pula yang berhenti sejenak sekedar ingin melihat, tapi tak sedikit yang mencibir penuh benci. 

Kelana tak peduli, ia tetap tegak berdiri. Merah putih masih berkibar di bawah terik matahari, bayang-bayang tiang dan kibarannya kini memendek hampir menyentuh tatakan beton yang menyangga agar tiang itu tak mudah roboh. 

Keringat mengalir pelan di dahi dan leher Kelana yang mengkilat, keningnya berkerut menahan silau, tubuhnya hanya berbalut celana pendek selutut, kulit punggungnya kini perih ditimpa panasnya matahari, meski bobot tubuhnya yang kurus itu mungkin cukup ringan, tapi otot betis dan pahanya kian menegang dan pegal, kedua lengannya terkulai lemas di samping pahanya, sesekali ia mengelap telapak tangannya yang berkeringat di pinggiran celananya lusuh. 

Lehernya mungkin kaku atau lelah, Kelana telah menatap ke atas, ke arah kibaran merah putih itu, sejak tadi pagi hingga siang ini, lambungnya mulai perih, rasa lapar meliliti, namun seluruh rasa sakit itu tak sedetikpun diambil pusing. 

Kelana tetap berdiri, pikirannya masih mencari makna sejati merah putih, ia percaya tatapan yang sungguh-sungguh akan mampu menyingkap tabir tersembunyi merah putih. 

Kelana juga meyakini, dengan kesungguhan dan keteguhan ini, ia akan segera terbebas dari masalah yang hingga kini tak jua mampu dimengertinya meski dengan pikiran yang jernih dan teliti. 

"Sudah selesai!" 

Sebuah teriakan membuyarkan segenap makna yang sejak tadi dikumpulkan Kelana di lipatan-lipatan pikirannya. Kelana menoleh ke sumber suara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun